• Beranda
  • Berita
  • Kearifan lokal perlu jadi pertimbangan dalam pembahasan RUU KUHP

Kearifan lokal perlu jadi pertimbangan dalam pembahasan RUU KUHP

1 Juli 2021 09:54 WIB
Kearifan lokal perlu jadi pertimbangan dalam pembahasan RUU KUHP
Ilustrasi RUU KUHP. ANTARA/ilustrator/Kliwon
Pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR RI, perlu memperhatikan kearifan lokal ketika membahas kembali Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).

Pasal-pasal kontroversial dalam RUU KUHP yang batal disahkan pada bulan September 2019, termasuk pasal penodaan terhadap bendera negara, perlu dikaji ulang agar tidak timbulkan masalah di kemudian hari.

Dari sejumlah pasal penodaan terhadap bendera negara yang sempat mendapat respons dari sejumlah kalangan, termasuk Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. dan Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H. adalah Pasal 235.

Disebutkan dalam Pasal 235 RUU KUHP bahwa dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II (Rp10 juta) setiap orang yang:
a. memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial;
b. mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara; atau
d. memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.

Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Prof. Faisal Santiago mempersoalkan Pasal 235 Huruf b. Seseorang karena ketidakmampuan membeli bendera baru apakah harus dipidana? Padahal, yang bersangkutan sangat ingin mengibarkan bendera Merah Putih, misalnya, pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Prof. Faisal juga memandang penting ada ketentuan pemberatan pidana terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana terkait dengan pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara.

Hal ini mengingat pejabat negara adalah panutan atau menjadi teladan bagi masyarakat untuk mengikutinya, bukan mencontohkan hal-hal yang tidak baik.

Ia lantas mencontohkan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terjerat kasus korupsi terkait dengan kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hukuman terhadap jaksa Pinangki ini seharusnya diperberat, bukan malah sebaliknya.

Majelis banding Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 14 Juni 2021, kata Prof. Faisal, malah mengurangi putusan jaksa Pinangki menjadi 4 tahun dan denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.

Sebelumnya, vonis majelis hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 8 Februari 2021 memvonis jaksa Pinangki pidana penjara selama 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.

Oleh karena itu, pemberatan pidana terhadap pejabat negara yang terbukti melanggar pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara perlu ada dalam KUHP baru.

Baca juga: Pakar: Mengibarkan bendera kusam tak perlu diatur dalam RUU KUHP

Baca juga: Eva: Pasal penodaan bendera negara jangan sumbat nasionalisme seniman


Pembuat undang-undang sudah memenuhi keinginan pelbagai pihak terkait dengan pasal pemberatan pidana terhadap pejabat. Dalam Pasal 58 RUU KUHP menyebutkan bahwa faktor yang memperberat pidana meliputi:
a. pejabat yang melakukan tindak pidana sehingga melanggar kewajiban jabatan yang khusus atau melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;
b. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; atau
c. pengulangan tindak pidana.

Pakar hukum dari Unissula Semarang Jawade Hafidz memandang penting mempertahankan pasal pemberatan pidana tersebut. Namun, perlu dirumuskan penjelasannya supaya tidak terjadi multitafsir dalam praktiknya di tengah masyarakat.

Kearifan Lokal

Di dalam Penjelasan atas RUU KUHP, Pasal 235 dianggap cukup jelas. Padahal, perlu ada penjelasan terkait dengan tradisi masyarakat di sejumlah daerah yang memasang bendera Merah Putih di kuda-kuda atap rumah.

Ditegaskan oleh Jawade Hafidz bahwa pemasangan bendera itu merupakan wujud rasa cinta dan nasionalisme warga negara yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan lokal yang perlu dilindungi oleh Negara.

Penggunaan bendera Merah Putih di kuda-kuda atap rumah, bukan berarti penghinaan, melainkan penghargaan yang tinggi. Oleh karena itu, penggunaan bendera Merah Putih ketika seseorang mendirikan rumah sebaiknya jangan dilarang, apalagi sampai memidanakan pelaku-nya dengan pidana denda maksimal Rp10 juta.

Prof. Faisal sependapat dengan Jawade Hafidz bahwa penggunaan bendera Merah Putih pada saat mendirikan rumah merupakan kearifan lokal (local wisdom). Jadi, tergantung pada niat setiap orang dalam memperlakukan bendera Merah Putih.

Ditekankan oleh Jawade bahwa pasal penodaan bendera negara terkait dengan kearifan lokal itu tidak perlu diatur dalam KUHP baru karena terlalu teknis dan pembuktian-nya sangat interpretatif.

Baca juga: Pakar: Pasal 235 RUU KUHP pertegas pidana penghinaan bendera negara

Baca juga: Pakar: Pasang bendera ketika bangun rumah jangan dipidana


Menyinggung pasal 231 dan 234 RUU KUHP, Jawade memandang perlu mengkaji kembali dengan memperhatikan latar belakang, maksud, dan tujuan perbuatan dimaksud serta dipertegas kualifikasi subjek hukum yang akan dikenai sanksi.

Pasal 231: Setiap orang yang menodai bendera kebangsaan dari negara sahabat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III (Rp50 juta).

Pasal 234: Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain terhadap bendera negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara dipidana dengan pidana penjara paling 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V (Rp500 juta). Jika melanggar Pasal 234, kata Prof. Faisal, wajib dipidana.

Ekspresi Seniman

Bagi artis luar negeri, seperti Geri Horner/Geri Halliwell (eks personel Spice Girls, grup vokal wanita dari Inggris) serta Beyonce, Lady Gaga, dan Katy Perry, ketiganya penyanyi asal Amerika Serikat, tampaknya bebas mengekspresikan kebanggaanya terhadap negara masing-masing dengan mengenakan kostum bendera negara mereka.

Soal kostum bermotif bendera negara ini sempat disoroti oleh mantan anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI Eva Kusuma Sundari, M.A., M.D.E.

Direktur Institut Sarinah ini menyatakan bahwa pasal penodaan terhadap bendera negara dalam RUU KUHP jangan sampai menyumbat nasionalisme para seniman yang akan menunjukkan kebanggaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jangan sampai ketika mengekspresikan kebanggaannya melalui kostum bermotif bendera negara lantas masuk kategori kriminal.

Oleh karena itu, Eva memandang perlu pembuat undang-undang meninjau kembali sejumlah aturan dalam pasal penodaan terhadap bendera negara yang mengancam pidana denda paling banyak Rp10 juta.

Pemidanaan terkait dengan pasal penodaan terhadap bendera negara ini perlu mengetahui motifnya. Jika bertujuan untuk menunjukkan kebencian dan/atau pelecehan, pelaku-nya patut mendapat hukuman.

Oleh sebab itu, pembuat undang-undang perlu mengkaji kembali pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara dengan tetap memperhatikan hal-hal yang bersentuhan dengan kearifan lokal dan ekspresi para seniman yang ingin menunjukkan kebanggaannya terhadap NKRI di atas panggung.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021