Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh menyatakan telah menangani sebanyak 3.000 kasus penderita tuberkulosis atau TBC di provinsi paling barat Indonesia itu hingga pertengahan tahun 2021, dan angka itu akan terus meningkat seiring pelacakan kontak erat secara berkesinambungan yang dilakukan di tengah masyarakat.Hingga pertengahan tahun 2021 ini kita sudah dapat sekitar 3.000 kasus TBC, paling tinggi di Kabupaten Bireuen dan Aceh Utara. Itu daerah-daerah yang tinggi kasus TBC-nya
“Hingga pertengahan tahun 2021 ini kita sudah dapat sekitar 3.000 kasus TBC, paling tinggi di Kabupaten Bireuen dan Aceh Utara. Itu daerah-daerah yang tinggi kasus TBC-nya,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Aceh dr Iman Murahman di Banda Aceh, Rabu.
Secara nasional, kata dia, kasus TBC di Aceh memang jauh lebih rendah dibandingkan dengan angka kasus TBC di provinsi wilayah Pulau Jawa.
Ia mengatakan secara estimasi Aceh berupaya untuk dapat mendeteksi sebanyak 20.000 kasus TBC setiap tahunnya.
Namun, proses pelacakan kontak erat TBC di lapangan masih terkendala karena banyak masyarakat yang menganggap TBC seperti penyakit kusta yang dianggap aib sehingga warga enggan diperiksa, apalagi mengikuti pengobatan penyakit menular itu.
“Makanya kita hanya dapat angka rata-rata sekitar 7.000 kasus setiap tahunnya, pada 2019 angkanya segitu dan 2020 juga sama. Ini hasil yang kita dapatkan di lapangan, tapi kalau kita periksa lagi lebih dari itu,” katanya.
Padahal, kata Iman, TBC sama halnya dengan COVID-19. Jika COVID-19 karena virus, sedangkan TBC berasal dari kuman, yang dipicu karena rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Kendati demikian, pihaknya terus melakukan pelacakan kontak erat dari orang yang positif TBC. Apalagi sekarang seluruh rumah sakit dan fasilitas kesehatan atau puskesmas di seluruh Aceh telah memiliki alat tes cepat molekuler (TCM) yang dapat mendeteksi orang terinfeksi TBC.
“Dengan alat TCM ini kalau kita periksa dahak maka dalam 45 menit sudah tahu apakah seseorang itu resisten atau sensitif dengan kuman TBC, itu langsung kelihatan,” katanya.
Untuk pengobatan kasus TBC harus ditempuh dalam jangka waktu enam bulan. Namun, kata dia, seseorang usai dinyatakan positif TBC, hanya membutuhkan waktu dua bulan pengobatan secara kontinyu agar penyakit tersebut tidak akan menularkan lagi ke orang lain.
“Pengobatan hanya butuh rawat jalan. Kalau kita sudah berobat, dalam tempo dua bulan saja tidak akan menularkan lagi ke orang lain. Selama dua bulan saja setiap hari, mulai bulan ketiga hingga ke bulan enam itu hanya tiga kali dalam seminggu,” katanya.
Dinkes juga meminta masyarakat lebih mawas diri apabila sudah lebih dua pekan batuk-batuk tanpa kejelasan sebabnya maka sebaiknnya bisa diperiksa ke puskesmas di mana saja, demikian Iman Murahman.
Baca juga: Pemerintah Aceh berharap PPT Iikut kampanyekan bahaya TB
Baca juga: Kemenkes: Pentingnya Terapi Pencegahan Tuberkolusis untuk eliminasi TB
Baca juga: Stigma dan diskriminasi kepada pasien hambat Indonesia bebas TB 2030
Baca juga: Proses berobat dan konsistensi pasien jadi tantangan pengobatan TB
Pewarta: Khalis Surry
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021