Pada 12 tahun silam, tepatnya 30 September 2009 gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter (SR) mengguncang Sumatera Barat yang getarannya dirasakan di Padang, Pariaman, dan Padang Pariaman.Padahal belajar dari gempa 30 September 2009 menunjukkan salah satu penyebab keruntuhan bangunan di Padang terjadi karena tidak memenuhi kaidah struktur bangunan yang aman
Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kini tidak lagi memakai satuan SR untuk menghitung kekuatan gempa bumi, dan telah mengganti penyebutan kekuatan gempa menjadi Magnitudo (M)
Gempa yang berpusat di lepas pantai Sumbar itu menyebabkan sebanyak 1.117 orang meninggal dunia, 135.448 rumah rusak berat, 65.380 rusak sedang dan 78.608 rusak ringan berdasarkan data yang dihimpun dari Satkorlak Penanggulangan Bencana.
Belajar dari gempa tersebut terungkap cukup banyak terjadi kerusakan bangunan mulai dari gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel hingga rumah warga.
Hampir sebagian besar korban yang meninggal dunia adalah mereka yang tewas tertimpa bangunan yang ambruk saat gempa terjadi.
Artinya, yang menjadi penyebab jatuhnya korban adalah bangunan yang konstruksinya tidak kuat sehingga saat diguncang gempa ambruk dan menimpa penghuninya.
Belajar dari pengalaman tersebut usai gempa 30 September 2009 sejumlah pakar bangunan pun merekomendasikan untuk membuat bangunan yang aman gempa guna meminimalkan korban.
Sebab berdasarkan penelitian terungkap bangunan yang roboh dan ambruk tidak memenuhi standar konstruksi yang baik dan aman sehingga mudah roboh.
Hal ini sejalan dengan pandangan pakar gempa Universitas Andalas (Unand) Padang Dr Badrul Mustafa yang mengingatkan masyarakat gempa bukan untuk ditakuti melainkan untuk diwaspadai.
Menurutnya yang membahayakan itu bukan gempanya melainkan bangunan yang roboh sehingga bisa menimpa manusia.
Megathrust segmen Siberut
Usai gempa 30 September 2009 Badrul terus mengingatkan warga Sumbar soal potensi gempa zona megathrust dari segmen Siberut yang masih belum mengeluarkan energi untuk dilepaskan hingga saat ini.
Menurutnya pada 1797 pernah terjadi gempa besar 8,9 SR dari segmen Siberut dan saat ini sudah memasuki periode ulang 200 tahun dengan potensi energi yang belum dilepaskan sebesar dua per tiga.
Ia menjelaskan Pulau Sumatera dilalui tumbukan lempeng Indoaustralia dengan Eurasia, lalu lempeng Indoaustralia menunjam ke bawah dan akibat dorongan tersebut terakumulasi energi.
"Di Kepulauan Mentawai ada dua segmen yaitu Sipora-Pagai dan segmen Siberut," katanya.
Ia memaparkan dari hasil penelitian LIPI diketahui ada periode ulang gempa besar dari kedua segmen tersebut yang diidentifikasi dari pola tumbuh dan matinya karang di sekitar pulau.
"Ketika gempa terjadi pulau yang sebelumnya turun akibat dorongan lempeng bisa naik kembali," katanya.
Untuk segmen Sipora-Pagai sudah terjadi pengulangan sebanyak empat kali yaitu 12 September 2007 dengan kekuatan 8,4 SR dan 13 September 2007 dengan skala 7,9 SR, dan pada hari yang sama kembali terjadi dengan skala 7,2 SR dan 25 Oktober 2010 kembali terjadi dengan kekuatan 7,2 SR.
Di segmen Siberut sudah pernah terjadi beberapa kali gempa yang cukup kuat yaitu pada 10 April 2005 atau beberapa hari setelah gempa Nias dengan kekuatan 6,7 SR.
Lalu, pada 30 September 2009 juga terjadi gempa dengan kekuatan 7,9 SR yang merupakan bagian dari segmen Siberut.
"Akan tetapi ini baru sepertiga energi yang dilepaskan dari segmen Siberut dan masih ada energi dua per tiga lagi sebagaimana pendapat ahli ITB Irwan Meilano," katanya.
Oleh sebab itu yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kewaspadaan melalui mitigasi gempa dengan mempersiapkan diri seandainya terjadi jumlah korban dan kerusakan bangunan dapat diminimalkan.
"Kita tidak pernah tahu kapan akan terjadi gempa, bisa jadi malam ini, besok, dua hari lagi, minggu depan, bulan depan atau tahun depan dalam rentang 50 tahun ke depan," katanya.
Menurut dia kalau hitungan pengulangan 200 tahun dari 1797 maka akan kembali terjadi pada 1997 dan berpeluang hingga 50 tahun ke depan.
Karena tidak tahu kapan datangnya yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri dengan mitigasi yaitu prabencana, saat bencana atau tanggap darurat dan usai bencana.
"Dari ketiga hal tersebut persiapan paling utama adalah mitigasi prabencana, ketika kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum gempa terjadi maka korban bisa ditekan," ujarnya.
Ia mengemukakan yang perlu disiapkan yaitu mitigasi struktural menyangkut struktur bangunan karena yang paling banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian saat gempa adalah bangunan yang roboh.
"Perlu sekali kita mematuhi standar bangunan aman gempa yang sudah ditetapkan pemerintah agar risiko hancurnya bangunan yang bisa menimpa manusia bisa ditekan," kata dia.
Bangunan tahan gempa
Hasil penelitian Guru Besar Ilmu Analisa Struktur Fakultas Teknik Unand Prof Jafril Tanjung pada 2016 dan 2017, yang dibiayai Japan Society for The Promotion Science soal konstruksi bangunan di Sumbar ternyata menemukan fakta yang cukup mengejutkan.
Melalui observasi yang dilakukan pada 100 bangunan yang dikerjakan pada kurun tersebut, masih banyak ditemukan pekerjaan konstruksi bangunan beton bertulang yang tidak memenuhi kaidah struktur bangunan aman dan ramah gempa.
"Padahal belajar dari gempa 30 September 2009 menunjukkan salah satu penyebab keruntuhan bangunan di Padang terjadi karena tidak memenuhi kaidah struktur bangunan yang aman," kata Jafril.
Ia menemukan struktur bangunan yang tidak memenuhi kaidah ini sebagian besar dibangun oleh masyarakat umum dan swasta dan bangunan milik pemerintah relatif lebih baik walau masih ada sebagian yang belum memenuhi syarat.
Kesalahan umum yang dijumpai adalah pekerjaan pemasangan tulangan baja, terutama tulang geser atau sengkang, detail penulangan pada sambungan balok kolom serta posisi penyambungan baja tulangan serta masih ada yang memakai baja polos.
Tidak hanya itu, dari observasi juga terungkap kemampuan pekerja atau tukang bangunan yang sebagian besar tak punya pengetahuan konstruksi yang memadai.
"Mereka tidak tahu bagaimana seharusnya mengerjakan konstruksi beton bertulang yang aman terhadap gempa bumi," katanya.
Belajar dari kejadian tersebut ia menilai struktur bangunan tahan gempa akan meminimalkan korban jiwa ketika terjadi gempa bumi.
Menurut dia, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bangunan yang rusak akibat gempa terdapat sejumlah kesalahan sehingga dapat menjadi pelajaran berharga.
Pertama mutu beton yang digunakan relatif rendah, berupa keropos, tidak padat hingga penggunaan material batu pecah yang tidak memadai.
"Kemudian pemakaian semen yang kurang, serta air sembarangan, kondisi ini banyak dijumpai pada bangunan swadaya masyarakat dan yang tidak diawasi ahli bangunan," katanya.
Kedua kerap ditemukan kurangnya tulangan baja yang digunakan mulai dari tulangan utama hingga tulangan geser atau sengkang.
Dalam banyak kasus dijumpai tidak mencukupi jumlah minimum yang disyaratkan dan saat gempa terjadi struktur menerima beban bolak balik sehingga menurunkan kinerja struktur bangunan.
Ia menyarankan pada daerah rawan gempa penggunaan tulangan ulir amat disarankan untuk tulangan utama dan geser, karena daya rekat baja tulangan ulir ke beton relatif lebih baik dibandingkan tulangan polos.
"Penggunaan tulangan ulir membuat komponen struktur yang terdiri atas baja tulangan dan beton menjadi monolit dan lebih mampu menerima beban," katanya.
Lalu ia juga kerap menemukan hal yang luput dalam konstruksi adalah rincian penulangan pada sambungan antara balok dan kolom.
"Seringkali dijumpai kurangnya bahkan tidak ada penulangan geser pada sambungan balok dan kolom," kata dia.
Oleh sebab itu karena Sumbar adalah daerah rawan gempa salah satu solusi untuk meminimalkan korban adalah perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan struktur bangunan rekayasa sipil yang aman dan ramah gempa
Sejalan dengan itu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang tetap fokus melakukan mitigasi prabencana menyikapi potensi gempa dan tsunami yang ada di daerah itu agar masyarakat lebih waspada dan meminimalkan korban jika bencana terjadi.
Kepala Pelaksana BPBD Kota Padang Barlius menyampaikan pihaknya juga sudah melakukan mitigasi struktural berupa melakukan penilaian kelayakan gedung-gedung tinggi yang dapat digunakan sebagai tempat evakuasi sementara jika terjadi tsunami.
"Beberapa hotel juga siap digunakan sebagai tempat evakuasi, yang agak keberatan adalah perbankan karena khawatir keamanan uang," kata dia.
Menurut dia dari hasil penilaian terungkap gedung yang paling kokoh adalah bangunan Pasar Raya Padang dan beberapa sekolah seperti SMA Negeri 1 dan SMKN 5 Padang perlu penguatan.
Baca juga: Pakar Unand ingatkan kembali potensi gempa megathrust segmen Siberut
Baca juga: Mendeteksi tsunami lewat kanal akustik di Megathrust Mentawai-Siberut
Baca juga: Pakar gempa Unand : Tetap waspadai gempa dari segmen Siberut
Baca juga: Teknologi hibrid kabel deteksi tsunami dipasang di Megathrust Siberut
Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021