• Beranda
  • Berita
  • Kisah buruh garmen Tunisia menanti pembayaran upah

Kisah buruh garmen Tunisia menanti pembayaran upah

13 Juli 2021 14:40 WIB
Kisah buruh garmen Tunisia menanti pembayaran upah
Arsip foto: Anggota serikat pekerja utama UGTT dan kelompok Islamis pro pemerintah terlibat bentrok di dekat polisi anti huru-hara saat anggota UGTT berkumpul untuk menyerukan aksi mogok besar-besaran di Tunis, Tunisia.(REUTERS/Anis Mili )

Jika ini tidak berhasil, kami khawatir harus menyelesaikannya di pengadilan

Tumpukan utang dan terbatasnya pilihan membuat penjahit Tunisia bernama Najeh menggantungkan asa pada janji majikannya untuk membayar empat bulan upahnya Agustus nanti.

Perempuan 44 tahun itu menolak menyebut nama belakangnya karena takut. Tulang punggung keluarga itu tetap berangkat kerja di sebuah pabrik garmen, seperti yang dilakoninya tiap hari selama 22 tahun, meski sejak Maret lalu tidak lagi menerima upah.

Pabrik-pabrik garmen di Tunisia, pemasok utama bagi merek-merek fesyen Eropa, terhantam parah oleh pandemi COVID-19. Ribuan buruh kehilangan pekerjaan dan protes atas pelanggaran hak pekerja meningkat di sektor itu, kata pemimpin serikat pekerja.

"Bagaimana (bisa) tidak ada uang? Kami bekerja. Ekspor terus berlangsung seperti biasa," kata Najeh, yang bekerja menjahit bagian pergelangan kemeja di pabrik Fada di kawasan timur laut kota Menzel Temime, kepada Thomson Reuters Foundation saat istirahat makan siang.

Baca juga: Riset ILO: ekspor garmen dari Asia turun hingga 70% akibat pandemi

Ekspor ke sejumlah pasar penting di Eropa mulai pulih, namun sekitar 4.500 pekerja tekstil dan garmen mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga Februari 2021, menurut Federasi Tekstil dan Garmen Tunisia (FTTH).

Pekerja lain seperti Najeh juga belum dibayar upahnya berbulan-bulan selama pandemi.

Meski pemilik pabrik Fada berjanji untuk melunasi upah yang belum dibayarkan bulan depan, Najeh mengatakan dirinya merasa tidak yakin bakal menerima uang dari tunggakan upah bulanan sebesar 530 dinar Tunisia (sekitar Rp2,78 juta) . Dia pun mengkhawatirkan masa depan pabrik itu.

Kuasa hukum Fada menolak untuk memberikan komentar.

Najeh mengatakan pabrik itu memproduksi kemeja untuk merek-merek Italia, termasuk Renato Balestra, Lancetti dan Il Granchio. Tak satu pun pemilik merek itu membalas permintaan untuk berkomentar.

Baca juga: Buruh garmen Asia hadapi ancaman perbudakan yang menguat saat COVID-19

Sementara itu, Najeh berutang kepada toko dekat rumahnya, guru les putranya, dan supir bus yang mengantarnya tiap hari ke tempat kerja.

Tiga pekerja Fada lainnya mengaku telah diusir dari rumah kontrakan mereka karena tak mampu membayar sewa akibat upah yang belum dibayar.

Problem Struktural

Industri garmen dan tekstil adalah penyumbang ekspor nomor dua bagi negara Afrika Barat itu dengan total nilai mencapai 2,1 miliar euro (Rp 36 triliun) ada 2020, menurut data FTTH.

Lebih dari 150.000 warga Tunisia, terutama wanita, bekerja di industri tersebut, dan pandemi telah memicu pelanggaran hak-hak buruh di mana-mana, kata Mounir Hassine, direktur regional Forum Tunisia untuk Hak-Hak Sosial dan Ekonomi (FTDES), sebuah lembaga swadaya masyarakat.

"COVID telah mempercepat segala hal, tapi semua itu terkait dengan problem struktural di sektor ini," kata dia.

Hanya satu dari 10 buruh menjadi anggota serikat pekerja. Meski masa kerja empat tahun memberi mereka hak untuk dikontrak permanen dan mendapat jaminan kesejahteraan termasuk hak pesangon, para pekerja mengatakan majikan mereka sering menyiasati aturan tersebut.

Baca juga: Perusahaan garmen terpukul pelemahan rupiah
Hassine mengatakan buruh jarang diberi kompensasi jika pabrik ditutup, karena pihak perusahaan berusaha membongkar properti apa pun yang bisa diminta setelah mereka menyatakan bangkrut.

Selama pandemi, kata dia, keluhan tentang pembayaran pesangon dan upah terus meningkat.

Menunda pembayaran tanpa alasan atau pemberitahuan kepada pekerja adalah pelanggaran pasal 21 UU Ketenagakerjaan Tunisia, kata Mounir Jendoubi, perwakilan serikat buruh UGTT di Nabeul.

Mencoba Bertahan

Sekitar 80 persen pabrik tekstil dan pakaian di Tunisia memasok Eropa secara eksklusif. Ketika ekspor ke Uni Eropa anjlok 15 persen pada 2020, mereka pun terdampak parah.

Di Italia, salah satu pembeli utama, toko-toko fesyen tutup empat setengah bulan pada tahun lalu akibat penguncian wilayah dan penjualan turun lebih dari sepertiga, menurut federasi industri fesyen Italia Confcommercio.

"Produsen telah menderita lebih dari setahun, lihat saja tingkat konsumsi rata-rata di Eropa - bisnis tidak berkembang, mereka hanya mencoba bertahan," kata
Hosni Boufaden, presiden FTTH.

Baca juga: 100 Terluka Dalam Protes Pekerja Garmen Bangladesh

Dia mengatakan para produsen tetap membayar pekerja selama lockdown pertama tahun lalu meski ekspor menurun dan pabrik-pabrik ditutup, dan menggantinya dengan pengurangan tunjangan cuti tahunan.

Upaya tersebut diakui oleh Ahmed Chahloul, koordinator nasional proyek "SCORE TUNISIA" Organisasi Buruh Internasional (ILO), yang bekerja sama dengan pemerintah Tunisia.

"Saya melihat lebih banyak solidaritas daripada konfrontasi," kata dia, mengutip para majikan yang tetap membayar upah saat bisnis berhenti dan para buruh yang menerima pengurangan jam kerja dan upah lebih rendah.

Namun dia menambahkan bahwa ada "pergerakan menuju kegentingan" sejak COVID-19 muncul.

Ketika pandemi memaksa pengurangan upah menjadi sekitar 450 dinar (Rp2,4 juta) per bulan, sejumlah pekerja bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Di Menzel Tamime, para pekerja Fada memilih empat orang komite pada April untuk mengatur aksi protes, berkoordinasi dengan serikat nasional UGTT, dan bernegosiasi dengan pemilik usaha.

Semula negosiasi tampak mustahil, namun setelah lebih dari 150 buruh menggelar aksi protes di depan kantor gubernur Nabuel pada Juni, mereka dapat bertemu dengan pengawas perburuhan dan kuasa hukum Fada.

Selama perundingan, pihak pabrik mengatakan upah yang tertunda sejak Maret akan dibayarkan pada Agustus.

"Jika ini tidak berhasil, kami khawatir harus menyelesaikannya di pengadilan," kata Najeh, seraya menambahkan bahwa majikannya menolak membayar mereka selama cuti dua bulan tahun lalu.

Kini yang bisa mereka lakukan adalah berharap.

"Ada orang yang telah bekerja di sini selama 25 tahun," kata Najeh. "Ini adalah pabrik kecil waktu kami mulai bekerja, kamilah yang membuatnya besar dan sukses."

Sumber: Thomson Reuters Foundation

Baca juga: Tunisia ingin batasi pekerja anak

Pewarta: Anton Santoso
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021