Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, menghitung frekuensi napas bisa digunakan para orangtua untuk mendeteksi pneumonia pada anak.Paling gampang, lihat kalau di bawah dada agak cekung ke dalam, itu tanda-tanda sesak
"Bagaimana hitung napas menjadi penting, bagaimana ibu mengenali anaknya sesak, karena biasanya anak-anak tidak bisa mengeluh karena sesak. Paling dia rewel, sering menangis," kata dia dalam webinar "Ayo Imunisasi, STOP Pneumonia", Kamis.
Pneumonia terjadi akibat infeksi yang mengenai jaringan di saluran pernapasan bawah yaitu paru-paru. Di antara sejumlah gejalanya, napas cepat salah satunya.
Baca juga: Cegah pneumonia, jangan cium balita kalau Anda batuk dan pilek
Kriteria napas cepat pada anak usia kurang 2 bulan lebih dari 60 kali napas per menit, lalu pada usia 2-11 bulan lebih dari 50 kali per menit, usia 1-5 tahun sekitar lebih dari 40 kali per menit dan anak usia di atas 5 tahun lebih dari 30 kali per menit.
Selain hitung napas, orangtua juga bisa memperhatikan ada tidaknya retraksi dinding atau penarikan dinding dada. Untuk memudahkan, gejala ini ditandai adanya cekungan ke dalam di bawah dada. Ini menjadi pertanda anak sesak.
Pengukuran saturasi oksigen menggunakan oximeter juga bisa dilakukan. Apabila angka pada alat menunjukkan di bawah 93 persen maka kondisi pneumonia sudah masuk kategori berat. Pada anak yang masih menyusui, ketidakmampuan dia menyusu hingga penurunan kesadaran juga menjadi tanda pneumonia berat.
Baca juga: Menteri PPPA: Lingkungan sehat cegah pneumonia pada anak
"Paling gampang, lihat kalau di bawah dada agak cekung ke dalam, itu tanda-tanda sesak. Kalau punya alat saturasi oksigen kita bisa gunakan," tutur Nadia.
Pneumonia hingga kini menjadi penyebab kematian anak di bawah usia 5 tahun di dunia. Pada tahun 2015, sebanyak 1 dari 6 anak meninggal karena pneumonia.
Indonesia menjadi salah satu penyumbang 6 dari 10 kematian anak akibat pneumonia di 10 negara selain Nigeria, Kongo, Angola, Afganistan, Pakistan, dan China.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukkan, penyebab kematian bayi pada tahun 2007 salah satunya karena pneumonia (23,8 persen), sementara pada balita (15,5 persen).
Sementara itu, data dari Sample Registration System (SRS) pada tahun 2014 memperlihatkan, sebanyak 23 balita meninggal setiap jam dan 4 di antaranya karena pneumonia.
"Insiden dari kejadian baru pneumonia menjadi perhatian kita mengapa perlu terus mencoba melakukan pencegahan dan pengendalian pneumonia terutama pada balita," tutur Nadia.
Baca juga: Pakar: Anak berperan penting cegah pneumonia pada orang tua
Baca juga: Kenali gejala tak khas pneumonia pada lansia
Baca juga: Akademisi: Bedakan pneumonia biasa dengan COVID-19
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2021