• Beranda
  • Berita
  • Guru Besar FKUI: Vaksinasi cegah infeksi yang belum ada obatnya

Guru Besar FKUI: Vaksinasi cegah infeksi yang belum ada obatnya

20 Juli 2021 16:02 WIB
Guru Besar FKUI: Vaksinasi cegah infeksi yang belum ada obatnya
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) Prof. DR. Dr. Budi Wiweko, SpOG (K), MPH. ANTARA/HO-Humas UI/am.

Pemberian anti virus untuk mencegah supaya virus tidak terus membelah

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) Prof. DR. Dr. Budi Wiweko, SpOG (K), MPH mengatakan vaksinasi membantu untuk mencegah terjadinya infeksi yang belum ada obatnya.

"Prinsipnya setiap sel di dalam tubuh kita memiliki 'identitas atau KTP' sehingga dikenali oleh sel imun sebagai kawan bukan lawan," kata Prof Budi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Walaupun demikian, lanjutnya ada kalanya sel tubuh memiliki masalah dengan KTP nya sehingga menjadi tidak dikenali sel imun, akibatnya sudah barang tentu sel imun akan menyerang sel tubuh sendiri. Inilah yang dikenal sebagai 'penyakit auto imun'.

Bagaimana reaksi sel imun bila ada sel asing masuk ke dalam tubuh, bisa dalam bentuk infeksi bakteri atau pun virus. Pada dasarnya sejak dibentuk, sel imun sudah 'disekolahin di kelenjar Timus' agar mampu mengenali musuhnya dengan baik dan tidak menyerang kawan-nya sendiri.

"Bila ada bakteri atau virus masuk, maka tubuh akan menyusun kekuatan dengan mengerahkan sel-sel imunnya dari berbagai lapisan. Ada lapisan 'pertama, ada lapisan kedua dan ada lapisan ketiga' sebagai benteng terakhir, demikian Allah SWT menciptakannya dengan sangat sempurna," kata Wakil Direktur IMERI - FKUI itu.

Pasukan sel imun lapisan pertama yang paling gampang kita kenal misalnya adalah kulit, bagaimana kulit diatur kelembabannya dan banyak sel imun di bawah jaringan kulit sebagai barisan pertama pertahanan kita.

Bila barisan pertama belum mampu mengusir musuh, maka akan dilepaskan sel-sel perantara yang akan memanggil bala bantuan dan melepaskan berbagai zat untuk menghancurkan musuh. Sel-sel ini dikenal dengan sebutan 'sitokin.'

Infeksi yang tidak berat pada umumnya bisa diselesaikan di level pertama, tetapi untuk infeksi virus (yang sifatnya di dalam sel) dia membutuhkan bala bantuan yang lebih besar untuk menghancurkan virus sekaligus sel yang diinfeksinya.

"Apakah infeksi virus bisa sembuh sendiri ? Jawabannya tidak selalu," ujarnya.

Yang pertama bergantung dari derajat infeksi. Disamping itu 'jenis dan jumlah virus yang menginfeksi serta tingkat ketangguhan sel imun' akan menentukan respons orang terhadap infeksi virus.

"Infeksi virus HIV misalnya, merupakan infeksi virus yang sangat berbahaya, karena virus HIV akan merusak sel imun tubuh manusia sehingga pertahanan tubuh menjadi lumpuh total. Bisa dibayangkan seorang penderita AIDS bisa wafat hanya karena terinfeksi tuberkulosis. Hal ini karena pasien AIDS telah kehilangan 100 persen daya tahan tubuhnya," kata Prof. Budi.

Infeks virus lain yang bisa kita lihat misalnya infeksi virus HPV = human papilloma virus sebagai penyebab kanker mulut rahim. Virus HPV ini akan mengelabui sel imun yang ada di mulut rahim perempuan. Dengan 'menggunakan KTP palsu,' virus HPV akan terus merusak mulut rahim seorang perempuan sehingga bisa menjadi kanker tanpa sel imun tubuh perempuan tersebut menyadarinya.

Baca juga: Saran Guru Besar FKUI agar dokter tak pikul beban kerja terlalu berat

Baca juga: Guru Besar FKUI keluarkan 8 rekomendasi penanganan COVID-19


Bila seseorang terinfeksi virus Sarscov-2 maka prinsipnya sama, sel imun orang yang terinfeksi akan segera bereaksi dan memanggil pasukannya untuk membunuh virus tersebut. Sebagian besar akan sukses dan berhasil sehingga tidak bergejala atau hanya bergejala ringan saja. Sebagian kecil tidak berhasil karena virus Sarscov-2 berhasil 'mengecoh sel imun' orang yang terinfeksi sehingga jatuh dalam kondisi berat.

Pada kondisi berat, virus terus merusak sel yang diserangnya, terutama adalah sel paru-paru sehingga mengakibatkan orang kehabisan oksigen. Respons sel perantara yang berlebihan (padahal bertujuan memanggil bala bantuan) ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Reaksi ini disebut sebagai 'badai sitokin' yang justru bisa merusak semua organ tubuh manusia.

"Oleh karena itu upaya kita dalam menghadapi pasien yang terinfeksi COVID-19 adalah berupaya mencegah agar penyakit tidak jatuh dalam kondisi berat. Berbagai suplemen vitamin, mikro nutrien, dan zinc diberikan untuk bisa mengaktifkan sel imun kita agar jangan dibohongin oleh Sarscov-2. Pada kasus derajat sedang, pemberian anti virus dilakukan untuk mencegah supaya virus ini tidak terus membelah dan memperbanyak dirinya di dalam tubuh," katanya.

Tindakan terbaik tentunya adalah menghindari dan mencegah terjadinya infeksi Sarscov-2 dengan melakukan protokol kesehatan yang ketat dan juga 'vaksinasi'.

Vaksinasi merupakan bagian dari upaya manusia 'nyekolahin sel imun' sehingga lebih mengenal musuhnya dan dengan cepat dapat menghancurkan virus sebelum sempat memperbanyak dirinya.

Cara vaksin bekerja adalah dengan memasukkan sedikit sel asing yang memiliki 'KTP musuh' ke dalam tubuh sehingga sel imun kita akan cepat mengenali dan mengidentifikasi. Biasanya pada dosis pertama, sel imun kita baru menjalani penjajakan terhadap musuh, baru pada dosis kedua dan seterusnya sel imun kita lebih mengenali calon musuhnya sehingga cepat memproduksi dan mengerahkan bala bantuan untuk menghancurkan musuh.

"Know your enemy better, kira-kira begitulah vaksinasi akan membantu kita mencegah terjadinya infeksi yang belum ada obatnya," ujarnya.

Baca juga: Saran Guru Besar Paru FKUI untuk percepatan vaksinasi COVID-19

Baca juga: Kata Guru Besar Paru FKUI tentang prediksi "herd imunity" di Indonesia

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021