..SMK dapat diarahkan untuk mengikuti dan mengangkat potensi industri pada tiap-tiap daerah.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Latasha Safira mengingatkan kebijakan pemerintah jangan sampai mengabaikan permintaan industri untuk fokus mempersiapkan lulusan pendidikan vokasi yang siap bersaing di era industri 4.0
“BPS mencatat mayoritas dari total pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia merupakan lulusan SMK. Hal ini menandakan bahwa lulusan SMK tidak terserap dengan baik ke industri,” tutur Latasha Safira dalam keterangan pers, Jakarta, Senin.
Menurut Latasha, hambatan lain dalam upaya pengembangan pendidikan vokasi adalah minimnya keterlibatan pemda di wilayahnya masing-masing.
Bagi dia, pendidikan vokasi Sekolah menengah kejuruan (SMK) dapat diarahkan untuk mengikuti dan mengangkat potensi industri pada tiap-tiap daerah.
Misalnya, lanjutnya, SMK yang berada di wilayah pesisir dapat memaksimalkan pendidikan vokasi yang bisa mendukung kebutuhan industri perikanan.
Dengan begitu, ia menandaskan bahwa para lulusannya dapat mendukung berkembangnya di setiap daerah mereka.
Baca juga: Erick Thohir ingatkan BUMN transformasi Industri 4.0 butuh "roadmap"
Namun, Latasha menganggap banyak pemda yang menganggap penyusunan kurikulum pendidikan vokasi bukan tanggung jawab mereka, sehingga tidak heran jika terdapat SMK di wilayah pesisir yang menawarkan program pendidikan mesin, bukan perikanan.
“Jadi, permasalahan infrastruktur pendukung serta pengembangan kurikulum ini saya lihat selalu menjadi permasalahan utama kenapa banyak penganggur itu merupakan lulusan SMK. Bagaimana industri mau mempekerjakan mereka, jika mereka tidak punya kemampuan mumpuni yang sesuai standar industri?” jelas dia.
Menurut Latasha, hambatan lainnya yang perlu diperbaiki untuk pengembangan pendidikan vokasi adalah mengenai kurangnya fasilitas penunjang, tempat praktek dan juga laboratorium.
Kekurangan ini dikatakan menyebabkan para siswa tidak memiliki sarana yang cukup untuk mengembangkan keahliannya, sehingga berefek jauh pada kesulitan berkompetisi di dunia kerja serta memenuhi standar industri.
Baca juga: Rektor ITS: Industri 4.0 karena adanya teknologi dan keekonomian
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa banyak SMK di Indonesia, khususnya di daerah perdesaan, yang tak memiliki laboratorium sehingga sulit menggelar workshop yang dilengkapi dengan alat/teknologi terbaru. Padahal, tuturnya, workshop sangat membantu untuk mempraktekkan keilmuan agar dapat digunakan di dunia pekerjaan.
Kekurangan fasilitas tersebut, ungkap Latasha, menyebabkan kurikulum SMK lebih banyak mempelajari teori. Hal ini dikatakan menjadi penyebab adanya jurang yang lebar antara kualitas lulusan SMK dan kebutuhan industri yang terus berkembang.
Karena itu, dia menyarankan agar ada penyiapan sarana dan kelengkapan SMK serta penyusunan kurikulum pendidikan vokasi di wilayah masing-masing melalui andil pemda.
“Pemerintah daerah lah yang seharusnya memiliki kapasitas untuk menentukan hal-hal seperti ini, karena mereka pasti tahu betul keadaan industri dan ekonomi di wilayahnya,” urai Latasha.
Baca juga: Perusahaan BUMN diakselerasi untuk menerapkan industri 4.0
Baca juga: Hipmi sambut era bonus demografi dan revolusi industri 4.0
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas/M Razi Rahman
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021