"Kredit dari yang sebelumnya kami perkirakan 6 persen sampai 8 persen tahun ini, kami turunkan menjadi 4 persen hingga 6 persen. Namun ada empat hal yang bisa mendorong akselerasinya," ujar Destry dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Ia menyebutkan, pertama, yakni terus membaiknya ekonomi global yang bisa mengangkat harga komoditas dunia, sehingga Indonesia sebagai negara berbasis komoditas juga akan bisa menikmati dampak dari naiknya harga tersebut dan mampu mendorong kredit.
Kedua, kapasitas permodalan bank yang relatif tinggi dengan tingkat risiko yang terjaga, termasuk ketahanan likuiditas bank, sehingga hal tersebut bisa mendorong bank untuk bisa terus menyalurkan kreditnya.
Baca juga: BI perkirakan kredit tumbuh 4-6 persen pada 2021
Destry melanjutkan, ketiga, yaitu percepatan korporatisasi serta digitalisasi ekonomi dan keuangan yang dapat lebih mendukung aktivitas dan mendorong pemulihan ekonomi, khususnya UMKM yang merupakan penopang perekonomian Tanah Air.
"Lebih dari 99 persen pelaku usaha itu adalah segmen UMKM dan kalau kita lihat pemulihannya di segmen kredit, kredit UMKM ini yang lebih cepat mengalami pulih ketimbang segmen korporasi," tuturnya.
Keempat, efektivitas pelaksanaan bauran kebijakan sektor lintas lembaga, sehingga BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus meningkatkan sinergi dan koordinasi dalam rangka pemulihan ekonomi nasional serta mendorong intermediasi dari bank.
Kendati begitu, ia mengingatkan bahwa masih terdapat beberapa hal yang perlu diwaspadai dan berpotensi menekan pertumbuhan kredit, yakni penyebaran COVID-19 varian Delta, hingga persepsi risiko perbankan yang masih cukup tinggi dan menimbulkan kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit.
Baca juga: BI: Suku bunga kredit perbankan terus menurun meski terbatas
Baca juga: BI: Pertumbuhan kredit UMKM capai 2,35 persen, lampaui kredit total
Pewarta: Agatha Olivia Victoria/Satyagraha
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2021