• Beranda
  • Berita
  • OJK: Pasca diterbitkannya POJK 57, dana himpunan SCF naik 52,1 persen

OJK: Pasca diterbitkannya POJK 57, dana himpunan SCF naik 52,1 persen

3 Agustus 2021 11:24 WIB
OJK: Pasca diterbitkannya POJK 57, dana himpunan SCF naik 52,1 persen
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen. FOTO ANTARA/Ujang Zaelani

Di samping memberikan kemudahan dari sisi penerbit atau UMKM, kebijakan ini juga diharapkan dapat memberikan kesempatan luas bagi para investor ritel, khususnya yang berdomisili di daerah kedudukan UMKM yang menerbitkan SCF untuk turut berkontribusi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan pasca diterbitkannya POJK Nomor 57/POJK.04/2020 tentang Penawaran Umum Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi atau Securities Crowfunding (SCF), jumlah dana yang berhasil dihimpun hingga akhir Juni 2021 naik 52,1 persen (ytd) menjadi Rp290,82 miliar dari posisi akhir Desember 2020 Rp191,2 miliar.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen di Jakarta, Selasa, mengatakan, hingga 30 Juni 2021, total penyelenggara yang mendapatkan izin dari OJK bertambah menjadi lima pihak. Di samping itu, jumlah penerbit atau pelaku UMKM yang memanfaatkan SCF juga mengalami pertumbuhan 24,8 persen (ytd) menjadi 161 penerbit. Dari sisi pemodal juga mengalami pertumbuhan 54,53 persen (ytd), dari sebelumnya hanya berjumlah 22.341, menjadi sebanyak 34.525 investor.

"Untuk itu, kami sangat mengapresiasi rekan-rekan Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia atau ALUDI yang terus berkomitmen mendukung pengembangan industri ini, dan kami mengimbau agar semua pihak termasuk para sarjana ekonomi untuk turut berpartisipasi aktif dalam menumbuhkembangkan SCF ini demi kemajuan UMKM dan perekonomian Indonesia," ujar Hoesen saat menjadi pembicara kunci dalam kegiatan sosialisasi POJK 57 kepada pelaku UMKM di Wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Pada awalnya, kegiatan fintech crowdfunding diatur dalam POJK Nomor 37 tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi atau sering disebut Equity Crowdfunding/ECF. Setelah OJK melakukan evaluasi, kegiatan ECF tersebut ternyata masih memiliki banyak keterbatasan, diantaranya jenis pelaku usaha harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) dan jenis efek yang dapat ditawarkan hanya berupa saham.

Sebagai gambaran, sampai dengan akhir Desember 2020, jumlah penerbit/pelaku UMKM yang memanfaatkan ECF dari empat penyelenggara, baru mencapai 129 penerbit (perusahaan) dengan jumlah dana yang dihimpun mencapai Rp191,2 miliar. Jika dibandingkan dengan total jumlah UMKM yang ada di Indonesia, yang menurut data Kemenkop UKM tahun 2018 telah mencapai 64 juta pelaku usaha, jumlah penerbit tersebut masih terbilang sangat sedikit.

Baca juga: OJK jelaskan beda pinjaman daring dengan layanan urun dana

Berkaca dari evaluasi yang telah dilakukan, khususnya terkait dukungan OJK terhadap UMKM, OJK memutuskan untuk mencabut POJK Nomor 37 tahun 2018 dan menggantinya dengan POJK Nomor 57 tahun 2020.

Perubahan ketentuan itu bertujuan untuk memperluas jenis pelaku usaha yang dapat terlibat, dari sebelumnya hanya berbadan hukum PT, namun sekarang juga meliputi badan usaha seperti CV, Firma, dan Koperasi. Selain itu, POJK 57 tersebut juga memperluas jenis efek, dari sebelumnya hanya berupa saham, namun sekarang diperluas dengan memasukkan efek berupa obligasi dan sukuk.

"Di samping memberikan kemudahan dari sisi penerbit atau UMKM, kebijakan ini juga diharapkan dapat memberikan kesempatan luas bagi para investor ritel, khususnya yang berdomisili di daerah kedudukan UMKM yang menerbitkan SCF untuk turut berkontribusi untuk pengembangan ekonomi di daerahnya masing-masing," ujar Hoesen.

Istilah crowdfunding sendiri diartikan sebagai kegiatan patungan atau urunan dalam bentuk dana dengan tujuan membantu saudara, kerabat, atau sahabat yang sedang membutuhkan bantuan. Jadi, secara filosofis, kegiatan crowdfunding itu merupakan budaya asli orang Indonesia, yaitu budaya gotong royong yang bertujuan untuk membantu sesama.

Budaya inilah yang selanjutnya diserap dan kemudian diimplementasikan ke dalam bentuk aktivitas bisnis di pasar modal melalui konsep penawaran efek dan mekanismenya tidak dilakukan dengan bertatap muka ataupun kontak fisik, melainkan melalui sebuah aplikasi/platform digital yang sering disebut dengan istilah financial technology securities crowdfunding.

Baca juga: ALUDI optimistis himpun dana Rp500 miliar pada akhir 2021

Baca juga: BEI: Securities Crowdfunding bisa jadi medium pemulihan UMKM

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021