Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan literasi keuangan digital bagi masyarakat Indonesia perlu digencarkan agar semakin banyak masyarakat yang memahami cara kerja dan mengakses inklusi keuangan yang ada di Tanah Air dan tidak mudah terjerat berbagai kasus penipuan.
Analis Senior Grup Inovasi Keuangan Digital OJK Indonesia Bagus Kurniawan menyampaikan literasi masyarakat Indonesia terkait layanan keuangan digital masih tergolong rendah karena baru mencapai sekitar 30 persen populasi yang memahami keuangan digital.
“Berdasarkan survei yang dilakukan OJK di 2019 dan 2020 diketahui bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia baru mencapai 38 persen, sementara tingkat inklusi keuangan nasional sudah sebesar 76 persen,” kata Bagus dalam webinar membahas peran Fintech di era Pandemi COVID-19, Selasa.
Dari persentase itu didapatkan perbandingan baru ada sepertiga penduduk Indonesia yang melek akan keuangan digital padahal layanan dan akses kemudahan untuk keuangan digital sudah mencapai dua kali lipatnya atau dua pertiga penduduk sudah bisa merasakan kemudahan tersebut.
Baca juga: Kominfo dan Kemenag siapkan pelajar madrasah cakap digital
Hal itu tentu sangat disayangkan mengingat keuangan digital menjadi salah satu penopang di masa sulit seperti pandemi COVID-19 untuk memastikan transaksi hingga bisnis besar bisa dapat berjalan.
Berkaca dari hal itu, OJK terus mendorong agar literasi keuangan digital bagi masyarakat Indonesia semakin gencar dilakukan.
OJK pun telah merencanakan 19 modul untuk memberikan literasi bagi masyarakat umum terkait keuangan digital, saat ini baru 3 modul yang terealisasi.
Bagus mencontohkan salah satunya adalah modul “memahami layanan keuangan digital yang tepat untuk anda”.
Modul- modul itu pun disebarkan dalam bentuk cetak untuk generasi yang lebih tua seperti Baby Boomer atau pun generasi X.
Sementara untuk generasi Milenial dan generasi Z, mereka bisa mengakses modul- modul tersebut secara langsung di situs resmi milik OJK.
“Ada juga yang bisa diakses secara interaktif, khususnya bagi generasi milenial dan generasi Z. Kita menyediakan itu karena menyakini generasi muda ini yang akan memegang peranan penting dalam perkembangan teknologi dan layanan keuangan digital di masa depan,”ujarnya.
Literasi keuangan digital yang baik juga tentunya bisa mendorong kegiatan konsumsi oleh masyarakat Indonesia ke arah kegiatan investasi yang bisa meningkatkan ekonomi negara dengan lebih baik lagi.
Dari sisi konsumsi saja, di Indonesia nilai transaksi ekonomi digital di 2020 lalu sudah mencapai 44 miliar dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp638 triliun, jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan transaksi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Dengan kemudahan transaksi dari e-commerce maka tidak heran hasil nilai transaksi ekonomi digital di Indonesia pada 2020 paling banyak berasal dari e-commerce.
Tidak hanya dari sisi literasi keuangan digital, OJK juga mendorong agar para penyedia jasa keuangan yang belum memanfaatkan layanan digital agar bisa lebih maksimal lagi menyediakan layanan tersebut.
Hal itu mengingat meski saat ini inklusi layanan keuangan di Indonesia sudah mencapai 76 persen namun angka tersebut masih belum maksimal apalagi jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura yang sudah mencapai inklusi keuangan nasional 99 persen dan Malaysia mencapai 85 persen.
"Angka inklusi keuangan di Indonesia masih jauh dibandingkan negara tetangga di kawasan ASEAN. Seperti di Singapura yang memimpin di sekitar 98 persen dan Malaysia 85 persen. Berkaca dari hal ini, masih banyak masyarakat yang belum mendapat layanan keuangan dengan optimal," kata Bagus.
Kemudahan akses layanan keuangan dibarengi dengan literasi yang sudah disebutkan sebelumnya diharapkan dapat mendorong kegiatan investasi dibandingkan dengan kegiatan konsumsi.
OJK mencatat dalam surveinya di 2020, masyarakat Indonesia masih menggunakan layanan keuangan digital untuk membayar tagihan dengan persentase sebanyak 66 persen, sementara baru 4 persen yang menggunakan layanan keuangan digital untuk berinvestasi.
“Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat potensi besar digital Indonesia, khususnya dengan bonus demografi dan proporsi jumlah generasi milenial dan generasi Z yang melek teknologi mengisi mayoritas populasi di Indonesia,” kata Bagus.
Oleh karena itu, ia pun mengajak berbagai pihak yang terkait dengan sektor layanan jasa keuangan digital agar bisa mendorong literasi dan inklusi keuangan yang baik sehingga Pemulihan Ekonomi Nasional yang dilakukan di tengah masa pandemi COVID-19 bisa berjalan dengan lebih cepat dan optimal.
“Masih banyak ruang bagi para pelaku industri di sektor jasa keuangan dapat membantu pemulihan perekonomian nasional melalui layanan keuangan digital. Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa fintech atau berbagai macam layanan keuangan digital saat ini memiliki peranan yang jelas dan penting dalam Pembangunan Ekonomi Nasional,” tutupnya.
Tercatat dalam survei OJK selama pandemi COVID-19 Asosiasi Fintech Indonesia telah melakukan inisiatif untuk membantu pemulihan ekonomi nasional. 47 persen bantuan ditujukan untuk masyarakat umum, 42 persen untuk membantu para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, dan sisanya 5 persen inisiatif disalurkan untuk mendukung program pemerintah.
Saat ini baru ada 125 perusahaan fintech peer-to-peer landing, 5 layanan crowfunding atau investasi urunan, serta 83 penyelenggaran Inovasi Keuangan Digital (IKD) seperti financial planner yang sudah terdaftar dan memiliki izin dari OJK.
Dengan literasi dan inklusi keuangan digital yang meningkat tentu jumlah layanan keuangan digital dapat bertambah dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Baca juga: OJK dukung literasi dan inklusi digital hingga ke desa
Baca juga: OJK: Kondisi pasar modal tergantung pada upaya penanganan pandemi
Baca juga: Kelas literasi digital jadi bagian Indiskop 2021
Pewarta: Livia Kristianti
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021