Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berusaha memenuhi kebutuhan asupan gizi seimbang pada ibu hamil dan bayi dengan menggunakan produk pangan lokal melalui program Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat).
“Dengan kedaulatan pangan, kita mampu menghasilkan sendiri, memproduksi sendiri, dan Dashat secara ideologis juga mendeklarasikan bahwa kita harus berdikari, berdaulat dan tidak mahal. Kalau kita berdaulat, itu tidak mahal, tidak perlu impor, tidak perlu makan yang mahal-mahal,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam "Menu Sehat Dashat: Ragam Menu Dapur Sehat Atasi Stunting di Kampung Keluarga Berkualitas" secara daring yang dipantau di Jakarta, Jumat.
Baca juga: BKKBN lawan stunting melalui program Dashat
Alasan pihaknya menggunakan bahan pangan lokal tersebut, karena masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pemenuhan gizi seimbang melalui makanan yang sehat adalah melalui makanan yang mahal.
“Sungguh kita sering merasa dan beranggapan atau beropini, kalau kita mengonsumsi makanan yang sehat itu harus mahal. Itu sangat salah,” tegas Hasto.
Selain ingin mengubah persepsi masyarakat soal makanan sehat, kata Hasto, pemanfaatan produk pangan lokal tidak hanya menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ketahanan pangan, taapi juga menjadi negara dengan kedaulatan pangan.
“Mudah-mudahan Dashat berbasis produk lokal, menghadirkan produk-produk lokal yang bisa menjawab kebutuhan gizi seimbang, menjawab tantangan menurunkan angka stunting dan mencerdaskan kehidupan keluarga. Menjadi keluarga berkualitas, kampung berkualitas, kampung keluarga berkualitas, dan menjadikan bangsa yang besar, generasi berkualitas unggul, bangsa yang maju,” kata dia.
Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia Prof. Dr. Hardinsyah mengatakan pemenuhan gizi seimbang kepada ibu hamil, ibu menyusui dan balita dapat melalui makanan dengan memanfaatkan bahan pangan lokal di daerah atau tempat tinggal masyarakat, seperti sagu, jagung atau kentang.
“Paling murah memang telur dan ikan dalam konteks secara umum. Tapi, di daerah pegunungan, kalau ada ikan air tawar ya alhamdullilah. Kalau tidak, pasti harga ikan akan tingg. Alternatifnya telur atau daging ayam,” kata Hardinsyah.
Ia menjelaskan pengolahan lauk, masyarakat dapat menggoreng atau mengukus bahan pangan tersebut, tergantung dari persiapan teknologi masing-masing.
Baca juga: BKKBN libatkan asosiasi profesor bahas solusi stunting di Indonesia
Baca juga: Wapres: Keluarga berperan penting dalam penerapan protokol kesehatan
Untuk sayur, masyarakat dapat menyesuaikan bagaimana sayur tersebut diolah sesuai dengan ciri khas dari masing-masing daerah, seperti sayur santan di Kalimantan, lalapan di Jawa Barat atau sayur bobor di sejumlah daerah yang ada di pulau Jawa.
Hardinsyah juga menyarankan agar pola makan tersebut diimbangi dengan pemberian asupan buah-buahan secara bergantian untuk menghindari rasa jenuh dan bosan, seperti buah pepaya dan semangka.
“Pepaya dan semangka ada di mana-mana. Hanya bentuk dan cita rasanya saja yang berbeda," ucapnya.
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021