Potensi laut mulai dilirik sebagai sumber energi utama, sebab banyak pulau-pulau kecil di Indonesia yang dapat dihidupi dari energi yang tersimpan di laut,
Biru membentang cakrawala adalah takdir yang tidak bisa diingkari Nusantara. Sepanjang dan setajam mata memandang, berbagai sudut samudera di Indonesia seakan tidak pernah memiliki ujung.
Tentu saja, sebab 3,25 juta kilometer persegi wilayah Indonesia adalah berupa lautan, bahkan hanya 2,01 juta kilometer persegi yang berupa daratan. Bertaburan di antara luasnya samudera adalah sebanyak 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, tiap-tiap titik memiliki kandungan potensi energi alam yang dapat diubah bentuknya menjadi listrik untuk kesejahteraan manusia.
Melihat dari jumlah penduduk di Indonesia yang terus meningkat, dapat dipastikan bila kebutuhan energi listrik akan semakin bertambah pula ke depannya, dan pemerintah pun telah berkomitmen untuk tidak menambah emisi menjadi polusi dari proses pengolahan energi tersebut.
Untuk itu, semakin bertambah pengelolaan produksi pemenuhan energi, sebisa mungkin akan ditekan sehingga menghasilkan nol emisi gas buang yang menjadi polutan. Ini berarti adalah pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) dengan dasar sumber bahan bakar yang bersifat nonfosil.
“Penggunaan EBT kita masih 12 persen, sehingga pemakaian energi fosil yang rentan polusi masih sebesar 88 persen. Ke depan, akan ditekan menjadi nol, tentu bukan hal mudah dan tidak dalam waktu dekat,” kata Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana ketika Podcast bersama Antara.
Menyoroti peningkatan pemakaian EBT, potensi laut mulai dilirik sebagai sumber energi utama, sebab banyak pulau-pulau kecil di Indonesia yang dapat dihidupi dari energi yang tersimpan di laut, sehingga efisiensi dan pemenuhan kuantitas tiap pulau dapat tersokong dari keberadaan garis-garis pantai tersebut.
Dadan menjelaskan, potensi laut sendiri memiliki simpanan energi yang bersumber dari tiga hal besar, yaitu pertama adalah arus laut, kedua adalah gelombang laut yang bergerak dan ketiga adalah temperatur air laut yang bisa diubah menjadi sumber energi.
Ketiga hal tersebut mungkin dan bisa dilakukan di perairan Indonesia. Hanya saja saat ini, pengembangan dan penelitian masih berfokus pada arus laut dan gelombang laut.
Harta karun yang tersimpan di laut Nusantara ini jika dibangunkan potensinya secara keseluruhan bisa mencapai lebih dari 17.900 GW dari penelitian terakhir. Meski Dadan juga menjelaskan tidak semua titik laut Indonesia bisa diubah energinya menjadi listrik, tergantung dari kondisi alam dan kebutuhan infrastruktur.
Saat ini dari porsi keseluruhan EBT saja mulai dari listrik tenaga angin, air, surya dan lainnya termasuk arus laut baru bisa dimanfaatkan 10,4 GW atau 2,5 dari total keseluruhan target.
Eropa pun, memiliki minat besar terhadap potensi arus laut Indonesia, salah satunya adalah Inggris yang sudah mengadakan kajian di wilayah timur Indonesia. Tak ingin kalah gerak, Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) Badan Litbang Kementerian ESDM melakukan penelitian dalam rangkaian rangkaian pra Feasibility Study (pra FS) pemanfaatan arus laut dalam pembangkit listrik tenaga arus laut, di Selat Pantar, Nusa Tenggara Timur.
Salah satu lokasi yang memiliki potensi energi laut cukup besar adalah perairan Selat Pantar, NTT. Berdasarkan penelitian P3GL pada 2011, selat ini memiliki kecepatan arus rata-rata cukup deras, sekitar 2 meter/detik, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber pembangkit listrik.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan pemerintah pusat dan daerah, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, PT PLN, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi, dan Independen Power Producer (IPP), serta instansi terkait lainnya dalam upaya pemanfaatan energi baru terbarukan khususnya energi arus laut.
P3GL telah mengolah data kecepatan arus di sejumlah selat yang potensial di perairan Indonesia. Kecepatan arus yang besar umumnya berada di perairan sekitar Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Kecepatan arus berkisar dari 0,6 hingga 3,5 meter/detik. Kecepatan arus lebih dari 2 meter/detik terdapat di Selat Pantar, Lombok, Toyapakeh, Larantuka, Alas, Molo, Sunda, dan Boleng. Secara umum, tipe pasang surut (pasut) di perairan Indonesia adalah tipe pasut semidiurnal, artinya dalam satu hari terdapat dua kali pasang dan dua kali surut.
Baca juga: Arus laut jadi sumber energi baru di 2025
Tantangan
Dirjen EBTKE menegaskan bahwa meski potensi cukup besar, tetapi dalam menerapkannya tidak semudah dalam penggunaan energi terbarukan lainnya dibandingkan arus laut. Membangkitkan energi listrik dari potensi laut pada kenyataannya masih membutuhkan biaya yang tidak murah, jika dibandingkan energi alam lainnya seperti angin dan surya.
Meski sudah ada angka hitungannya, namun secara detail, tingkat efisiensinya masih belum bisa dibicarakan secara komersial, berbeda dengan surya dan angin yang sudah ada formulasi investasi dan komersialnya.
Perlu pula untuk digarisbawahi bahwa energi dari arus laut masih dalam tahap pengembangan di Indonesia, sedangkan di luar negeri saja baru Irlandia yang sudah mampu mengolah sebesar 1,2 MW dan Skotlandia sebesar 30 KV dari potensi energi laut.
Titik terbaik pengembangan energi ini adalah jika lokasinya berada di selat, karena kawasan perairan antara dua pulau dapat menghasilkan potensi energi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif berbasis energi baru terbarukan.
Selat Larantuka, NTT, misalnya, memiliki arus laut terkuat di dunia dan tepat untuk membangun Pembangkit Listrik Arus Laut (PLTAL) di sana, sebab kekuatannya mampu dikonversi menjadi energi listrik dari energi arus.
Walau sedang dalam proses pengkajian, pijakan pengembangan energi laut sebenarnya telah tersedia dalam UU No. 30/2007 tentang Energi maupun UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Pemerintah Indonesia juga pernah “berguru” kepada Prancis menyoal energi arus laut. Energi arus laut yang dikembangkan Naval Energies, Prancis, memiliki teknologi turbin sederhana, yaitu hanya memiliki satu bagian yang bergerak menggunakan air laut sebagai pelumas.
Dengan teknologi itu, biaya operasi dan pemeliharaan lebih rendah jika dibandingkan menggunakan teknologi propeler. Teknologi open hydro open centre turbine yang memiliki diameter 16 meter dan kecepatan arus 2-5 meter/detik itu dapat menghasilkan listrik sebesar 2 MW.
PT Arus Indonesia Raya (AIR), perusahaan yang memiliki kerja sama dengan Naval Energies dalam mengembangkan industri turbin arus laut, telah melakukan studi di beberapa lokasi Indonesia. Terdapat beberapa wilayah yang cocok apabila di kembangkan pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL). Dari hasil studi yang dilakukan di 10 titik lokasi, diperoleh potensi listrik yang dapat dihasilkan dari arus laut Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya MIneral (ESDM) Arifin Tasrif memiliki fokus tersendiri mengenai peningkatan EBT. Pemerintah terus berusaha untuk menaikkan porsi EBT pada bauran energi, khususnya pada sektor ketenagalistrikan. Saat ini, bauran EBT baru mencapai 11,2 persen, masih berada di bawah target bauran energi tahun 2025 sebesar 23 persen. Potensi EBT yang mencapai lebih dari 400 Gigawatt (GW) pun baru dimanfaatkan sebesar 10 GW atau 2,5 persen dari total cadangan.
Dengan berbagai potensi tersebut, salah satunya arus laut, capaian target energi bersih dapat tercapai sekaligus mampu memberikan dampak langsung bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan perbatasan, serta membuktikan bahwa masa depan energi Indonesia ada di laut.
Baca juga: Mencari energi dari perut bumi hingga ke dasar laut
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021