“Reformasi perpajakan seperti revisi UU Perpajakan yang sedang berlangsung memang perlu dilakukan,” katanya di Jakarta, Selasa.
Fajry mengatakan reformasi perpajakan melalui langkah merevisi Undang-Undang Perpajakan sangat diperlukan meski banyak pihak yang menanyakan timing dari pengimplementasian kebijakan tersebut.
“Kami kira hal tersebut tidak menjadi masalah karena implementasi kebijakan bisa dapat disesuaikan atau fleksibel,” ujarnya.
Ia mengatakan CITA sangat mengapresiasi reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah agar menuju sistem yang sehat dan adil baik reformasi kebijakan dan reformasi administrasi.
Menurutnya, upaya reformasi ini tidak hanya memberikan peningkatan penerimaan namun juga berkelanjutan sekaligus mendorong ekonomi dari dampak pandemi COVID-19.
Ia menegaskan insentif perpajakan memang sudah seharusnya dievaluasi dalam reformasi perpajakan karena pemberian insentif selama ini telah menggerus penerimaan pajak.
Ia menyarankan agar pemerintah memberikan insentif pajak secara lebih tepat termasuk memperbaiki progresivitasnya mengingat basis pajak yang kuat membutuhkan pendapatan per kapita yang merata.
Tak hanya itu, Fajry menekankan bahwa mengurangi distorsi seperti VAT exemption juga penting karena telah membuat produk asal Indonesia menjadi kurang bersaing terhadap produk luar.
Distorsi ini pada akhirnya juga merugikan konsumen Indonesia karena beban pajak di tingkat konsumen lebih tinggi dibandingkan tarif normal.
“Reformasi administrasi menjadi tak terelakkan dan harus dilakukan secara berkelanjutan,” tegasnya.
Administrasi pajak yang lebih sederhana dan efisien serta menjamin kepastian hukum akan mampu mendorong penerimaan melalui peningkatan kepatuhan.
Selain itu, reformasi ini juga akan mendorong iklim usaha sehingga penerimaan meningkat dan ekonomi terdorong.
Terlebih lagi, target konsolidasi fiskal tahun 2023 yakni defisit anggaran telah berada di bahwa 3 persen terhadap PDB sehingga memerlukan reformasi perpajakan yang masif dan menyeluruh untuk memenuhi target.
“Oleh karena itu pemerintah perlu mengimplementasikan RUU Perpajakan (jika telah disahkan) pada tahun 2023 agar konsolidasi fiskal dapat dilakukan,” katanya.
Sebagai informasi, pendapatan negara dalam RAPBN 2022 ditargetkan mencapai Rp1.840,7 triliun yang meliputi penerimaan perpajakan Rp1.506,9 triliun dan Pendapatan Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp333,2 triliun.
Baca juga: Ekonom: Tarif PPh di atas Rp5 miliar perlu naik jadi 45 persen
Baca juga: Ekonom: Penurunan target defisit 2022 tunjukkan komitmen pemerintah
Baca juga: CORE: Penerimaan pajak 2022 akan dipengaruhi penanganan COVID-19
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021