Sekarang seluruh insan pendidikan, sudah bisa menggunakan berbagai aplikasi dengan suatu tantangannya
Pandemi COVID-19 telah memaksa pembelajaran yang sebelumnya dilakukan tatap muka menjadi tatap maya atau yang dikenal dengan pendidikan jarak jauh (PJJ).
PJJ telah diselenggarakan sejak Maret 2020, namun sebagian besar pendidik maupun peserta didik masih merindukan pembelajaran sebelum pandemi. Sebagian besar masih merindukan metode pembelajaran tatap muka.
Pembelajaran tatap muka masih dianggap metode pembelajaran yang efektif, yang dapat mencegah terjadinya hilangnya kesempatan belajar siswa atau yang dikenal dengan istilah "learning loss". Apalagi dengan kondisi infrastruktur seperti ketersediaan listrik maupun internet di Tanah Air belum merata.
Di luar itu semua, pandemi COVID-19 telah memaksa terjadinya transformasi pendidikan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengatakan pandemi COVID-19 telah mempercepat terjadinya digitalisasi di bidang pendidikan.
“Kita belum pernah melihat bagaimana adopsi penggunaan teknologi yang begitu cepat oleh para pendidik. Sekarang seluruh insan pendidikan, sudah bisa menggunakan berbagai aplikasi dengan suatu tantangannya. Ini suatu kesempatan kita untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik,” ujar Nadiem, beberapa waktu lalu.
Saat peserta didik kembali ke kelas pun, pola pembelajarannya tidak lagi sama.
Nadiem menambahkan pandemi COVID-19 memberikan hikmah bagi dunia pendidikan. Saat ini, perhatian pada pendidikan meningkat pesat dan menjadi perhatian tidak hanya guru, tetapi juga orang tua maupun peserta didik itu sendiri.
Ke depan, sekolah akan bergantung pada akses konten digital dan internet. Saat ini, Kemendikbudristek menyiapkan perangkat yang diberikan pada guru, kepala sekolah, dan siswa. Perangkat tersebut untuk mengakses materi bagi siswa, guru maupun kepala sekolah.
“Melalui perangkat tersebut, guru bisa berkolaborasi dengan guru lain, untuk bisa belajar menjadi guru yang lebih baik. Platform-platform yang membantu kepala sekolah untuk bisa melakukan pelaksanaan anggaran sekolah yang lebih efisien juga lebih merdeka menurut kebutuhan masing-masing,” terang Nadiem.
Baca juga: Nadiem: Program digitalisasi sekolah gunakan produk dalam negeri
Selain itu, ketersediaan alat seperti komputer jinjing, perangkat "router" juga menjadi keharusan dalam digitalisasi sekolah tersebut. Peralatan digitalisasi tersebut untuk mengakses informasi, materi kurikulum yang jauh lebih variatif, yang menyenangkan, dan meningkatkan kompetensi guru serta kepala sekolah, meningkatkan kolaborasi juga di sekolah ke kota besar.
Program digitalisasi di sekolah dimulai dari jenjang PAUD, SD, SMP, dan SMA.
Kemendikbudristek akan mengirimkan 190.000 laptop pada 12.000 sekolah dengan anggaran Rp1,3 triliun. Sebanyak 100 persen anggaran itu akan dibelanjakan laptop produk dalam negeri (PDN) dengan sertifikat tingkat komponen dalam negeri.
Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,4 triliun untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) 2021 di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, yang akan digunakan pembelian 240.000 laptop. Untuk itu, komitmen pemerintah daerah maupun Dinas Pendidikan daerah sangat diperlukan untuk melakukan pembelajaran dengan produk dalam negeri.
Untuk pelatihan guru, Kemendikbudristek juga memberikan pelatihan pada guru dengan memberikan layanan berbasis digital yakni Program Guru Berbagi dan Belajar. Melalui pelatihan, itu akan membantu guru dalam meningkatkan kompetensi kemampuan nonteknis sebagai pendukung penggunaan teknologi dalam kegiatan belajar mengajar.
Perubahan pembelajaran
Pemerhati pendidikan dari Center for Education Regulations & Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji mengatakan saat ini sebagian besar guru masih mengajar dengan pola lama, yang mana hanya memindahkan materi dari ruang kelas ke ruang maya. Padahal pembelajaran pada era digital sungguh berbeda.
“Semuanya berpikir jika tidak tatap muka akan berdampak negatif. Padahal tidak seperti. Itu pola pikir 'fixed mindset' yang mana pada 130 tahun lalu mengatakan bahwa manusia tidak bisa terbang. Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan pola pikir bertumbuh, yang mana meskipun tidak tatap muka tapi pembelajaran berdampak positif,” kata dia.
Dia mengutip kajian yang dilakukan Universitas Harvard pada 2014, yang mana dilakukan riset sejak 2009 mengenai sekolah virtual yang mana guru tidak pernah bertemu dengan siswanya. Hasilnya lebih baik dari sekolah konvensional.
Indra menjelaskan pendidikan tidak mungkin kembali lagi pada era sebelum pandemi, yang mana pembelajaran dilakukan dengan sepenuhnya tatap muka.
Baca juga: Kemendikbud perlu tingkatkan kompetensi guru sebelum digitalisasi
Oleh karena itu, para pendidik juga harus meninggalkan pola pembelajaran model lama yang 100 persen secara tatap muka.
Terdapat tiga komponen yang harus disiapkan dalam pembelajaran era digital, yakni infrastruktur, infostruktur, dan infokultur. Tiga komponen tersebut harus disiapkan agar menghasilkan pembelajaran yang positif.
Komponen pertama adalah infokultur, yang pembelajaran dilakukan secara "blended learning" yang melibatkan manusia dan teknologi. Pembelajaran "blended learning" memadukan antara manusia dan teknologi.
“Sekarang kondisinya tidak 'blended', yang mana jika menggunakan Zoom atau Google Meet, isinya ceramah saja,” kata dia.
Dia menambahkan pembelajaran "blended" tersebut memiliki kriteria yakni asynchronous (pembelajaran dapat dilakukan kapanpun, di manapun maupun menggunakan gawai apapun), personalized (sesuai dengan kebutuhan dan berbasis data), dan guru hanya sebagai fasilitator (siswa mencari tahu dan aneka sumber belajar).
Selain itu, sekolah memiliki identitas digital, konten digital, memiliki sistem manajemen pembelajaran atau LMS, sistem manajemen sekolah, aplikasi berbasis komputasi awan, dan tempat penyimpanan.
Komponen berikutnya yakni infrastruktur yang terdiri atas ketersediaan listrik, internet, gawai yang bisa "multitasking" dan multimedia.
Indra menambahkan terjadi salah kaprah selama pembelajaran jarak jauh yang dilakukan selama ini.
“Selama ini orang tua beranggapan setiap anak harus memiliki gawai agar bisa belajar. Ya itu, karena pembelajaran dilakukan secara sinronous. Padahal tidak, satu gawai itu bisa digunakan ramai-ramai karena pembelajaran dilakukan asinkronous yang bisa diakses kapan saja dan menggunakan gawai apa saja,” terang dia.
Indra menambahkan para pendidik tidak bisa lagi mengajar dengan pola lama, yang mana pertemuan di dalam kelas untuk mendistribusikan informasi, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, dan siswa belajar belajar pasif menggunakan “one size fits all approach”.
Pendidik harus mengembangkan metode pembelajaran baru yakni "flipped classroom", yang mana siswa mempelajari materi secara individu di luar kelas dengan fase masing-masing.
Pemanfaatan sistem manajemen pembelajaran menjadi standar dalam pola itu. Sementara pertemuan di dalam kelas digunakan untuk aktivitas kolaborasi aktif dari masing-masing siswa, yang mendorong penalaran tingkat tinggi melalui diskusi, presentasi, bedah, kasus, debat, dan lainnya.
Baca juga: Pemerhati sebut PJJ pengaruhi emosi siswa
Baca juga: PJJ optimalkan peran ibu sebagai pendidik yang sesungguhnya
Baca juga: Produksi konten pembelajaran digital penting imbangi PJJ
Pewarta: Indriani
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021