Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani mengatakan terdapat dua kebutuhan yang mendasari penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak tersebut.
"Terdapat setidaknya dua kebutuhan yang mendasari dikeluarkannya PP Nomor 78 Tahun 2021, yakni kebutuhan sosiologis-empirik dan kebutuhan yuridis," ujar Jaleswari dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, di Jakarta, Sabtu.
Dia mengatakan dari perspektif sosiologis-empirik, terdapat situasi dan kondisi tertentu yang membahayakan diri dan jiwa anak, termasuk di antaranya, anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang dieksploitasi baik secara seksual maupun ekonomi, anak yang menjadi korban perdagangan, dan kondisi-kondisi khusus lainnya;
"Merespon kebutuhan sosiologis-empirik tersebut, Presiden Joko Widodo selalu mengingatkan bahwa 'anak Indonesia harus terlindungi. Di pundak anak-anak ini, terpanggul harapan akan Indonesia maju.' Dalam proses perlindungan anak, Presiden juga sudah mengingatkan bahwa pemerintah harus mampu untuk memberikan pelayanan pengaduan yang mudah diakses," jelas Jaleswari.
Baca juga: MPR: Segera selesaikan skema perlindungan anak terdampak pandemi
Oleh karena itu, kata dia, Presiden mengeluarkan PP Nomor 78 Tahun 2021 untuk memastikan terdapat langkah ekstra dari pemerintah untuk melindungi anak dari situasi dan kondisi tertentu yang mengancam tumbuh kembang anak sebagai bentuk respon atas kebutuhan sosiologis-empirik tersebut.
Sedangkan dari perspektif yuridis, dia menjelaskan, dalam PP tersebut dapat dirunut amanat pembentukannya dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai perlindungan khusus bagi anak melalui pembentukan Peraturan Pemerintah.
Jaleswari menyampaikan PP tersebut memiliki signifikansi yang mendalam karena merupakan bentuk affirmative action dalam pemberian layanan yang dibutuhkan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus.
Selain itu juga mengatur pencegahan dan penanganan terhadap 15 jenis anak yang memerlukan perlindungan khusus, termasuk yang kontekstual saat ini adalah memberikan perlindungan khusus bagi anak korban bencana nonalam, yang di dalamnya termasuk diakibatkan oleh wabah penyakit.
PP juga memperjelas kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk dapat turut berpartisipasi dalam memberikan perlindungan khusus bagi anak.
Baca juga: Akademisi nilai MA kurang sensitif perlindungan anak putusan seragam
PP tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak ditetapkan Presiden RI Joko Widodo di Jakarta 10 Agustus 2021 dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada tanggal yang sama.
Salah satu poin yang diatur dalam PP tersebut yakni mengenai perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab III Pasal 7 PP tersebut, Perlindungan Khusus bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum dilakukan melalui antara lain: perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; pemisahan dari orang dewasa; pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif, pemberlakuan kegiatan rekreasional; pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan martabat dan derajat dan lainnya.
Adapun yang dimaksud dengan "pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajat" antara lain: disuruh membuka baju dan lari berkeliling; digunduli rambutnya; diborgol; disuruh membersihkan WC; dan anak disuruh memijat penyidik.
Untuk melihat dan membaca isi salinan lengkap PP Nomor 78 Tahun 2021, publik dapat mengakses melalui laman www.jdih.setneg.go.id.
Baca juga: Menteri: Wujudkan kesetaraan gender, perlu upaya bersama
Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021