"Memang kalau kita lihat di semester dua ya pasar kemungkinan lebih berflukutasi, lebih tinggi fluktuasinya. Pertama isu yang cukup sentral adalah isu tapering karena The Fed kalau kita lihat sekarang angka inflasi ada di 5,4 persen di mana target The Fed cuma 2 persen. Angka pengaguran sudah bergerak turun di kisaran 5,7 persen which is kalau dia sudah di 4 persen itu ekonomi AS mencapai full employment. Jadi dua hal ini menyebabkan The Fed dekat sekali dengan kebijakan yang dinamakan tapering," ujar Hans dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.
Hans menuturkan, pada 2013 terjadi taper tantrum di mana saat itu terjadi arus modal keluar (capital outflow) yang besar dari negara berkembang kembali ke Amerika. Menurut Hans, apabila terjadi tapering, capital outflow tidak akan sebesar seperti pada 2013 namun tetap akan menyebabkan fluktuasi di pasar saham.
Baca juga: Rupiah akhir pekan ditutup terkoreksi dipicu sentimen tapering
"Kenapa saya bilang cukup besar? Pertama The Fed cukup jelas mengkomunikasikan kebijakannya. Kedua, dana itu tidak terlalu besar masuk ke pasar kita. Kalau kita lihat kepemilkan asing di pasar saham itu sedkit bergerak turun. Kemudian pasar bond begerak dari kisaran 38-40 persen ke 20 persenan, 22-25 persen. Sehingga kalau terjadi tapering, dana itu keluar sesaat tapi kembali lagi ke emerging market. Tapi pas dia keluar pasti kita menghadapi goncangan. Volatilitas itu pasti terjadi di pasar kita," kata Hans.
Menurut Hans, krisis yang terjadi kali ini berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Saat ini orang memiliki dana namun tidak bisa berbelanja karena dibatasinya aktivitas dan bisnis tidak bisa berjalan dengan optimal. Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan saat ini pun meningkat yang kemudian berdampak pada meningkatnya jumlah investor di pasar modal.
"Ada orang di rumah tidak ngapa-ngapain tapi dia punya tabungan, dia transaksi di pasar saham. Jadi ketika tapering terjadi, pasarnya koreksi, orang akan kembali lagi masuk ke pasar sehingga harganya bergerak naik," ujar Hans.
Baca juga: Gubernur BI pastikan dampak tapering Fed tak akan sebesar 2013
Pada semester kedua, lanjut Hans, penyebaran COVID-19 khususnya varian delta juga perlu menjadi perhatian investor. Di China yang menerapkan kebijakan zero covid, di mana dilakukan lockdown apabila ada satu kasus saja yang muncul, dikhawatirkan akan berdampak pada logistik global.
Sementara itu, CEO Sucor Sekuritas Bernardus Wijaya mengatakan, isu tapering memang tengah melanda Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di mana IHSG sempat terlontar hingga ke level 5.900 beberapa waktu lalu meski akhirnya naik kembali.
"Menurut saya IHSG itu sudah price-in di harga 5.900, karena sejak tahun 2105 hingga tahun 2021 kepemilikan asing sudah cukup tipis dari angka 65 persen di 2015 saat ini tinggal 45 persen atau berkurang 20 persen sehingga dampak tapering terhadap IHSG tidak akan sesigniifikan tahun-tahun sebelumnya.
Apalagi, lanjut Bernardus, saat ini investor domestik, terutama investor ritel, sudah cukup kuat sebagai penopang transaksi harian atau penopang kepemilikan di pasar saham Indonesia. Pada akhir 2021, ia pun memprediksi IHSG akan berada di kisaran 6.600 hingga 6.800 dengan sektor yang akan memimpin IHSG adalah sektor finansial.
"Tidak lupa pula sektor teknologi yang mana sektor ini menarik untuk diperhatikan pada 2021. Karena jika dibandingkan dengan Nasdaq dan bursa-bursa lainnya, Indonesia masih ketinggalan. Di bursa lainnya untuk teknologi, market cap-nya sudah di kisaran 20 hingga 25 persen. Sehingga sektor teknologi masih cukup menarik dan tahun 2021 adalah tahun transformasi IHSG menuju teknologi," kata Bernardus.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021