Sejarawan Maritim Abd. Rahman Hamid mengatakan seluruh masyarakat Indonesia perlu mengubah sudut pandang terhadap jalur rempah sebagai subjek sejarah yang memberikan kecemerlangan lokal, bukan sebagai objek eksploitasi sumber daya alam dan manusia saat zaman kolonialisme dan imperialisme.
“Kita harus bisa menempatkan Nusantara sebagai subyek bukan obyek. Seperti apa Nusantara sebagai subjek? Di jalur rempah kita bisa menemukan bagaimana kecemerlangan lokal merespon jalur rempah,” kata Rahman dalam acara Telusur Jalur Rempah “Masa Depan Jalur Rempah” secara daring di Jakarta, Selasa.
Rahman mengatakan, penting untuk generasi mendatang mengetahui peran besar Nusantara dalam segala bentuk aktivitas interkoneksi lintas budaya dan agama ataupun pertukaran komoditi di jalur rempah, agar penerus bangsa bangga menjadi masyarakat Indonesia yang telah menghidupkan jalur tersebut.
Baca juga: Arsitek sebut pemikiran mengenai jalur rempah harus diubah
“Perlu diingat bahwa jalur rempah tidak berdiri sendiri. Ia hidup dan dihidupkan pula oleh komoditas niaga lain baik dari dalam atau luar Nusantara. Baik beras, ada kayu cendana, jahe, keramik, kain sutera, bahkan budak menjadi salah satu komoditas yang saling menghidupi jalur rempah,” kata dia menjelaskan jenis komoditi Nusantara yang populer pada masa itu.
Ia menjelaskan, jalur rempah juga telah menjadi stimulus tumbuhnya kota-kota pelabuhan yang bersifat kosmopolitan pada masa itu di beberapa titik kota yang ada di Indonesia.
Rahman menegaskan, generasi muda perlu mengetahui bahwa dalam jalur rempah bisa ditemukan orang-orang yang tercerahkan seperti Karaeng Pattingaloang dan Syekh Yusuf Al-Makassari.
Baca juga: Arsitek: Jalur rempah mempengaruhi bangunan arsitektur di Indonesia
Antropolog Maritim Horst Liebner menjelaskan bagaimana bangsa asing pada masa itu saling berebut komoditi untuk membawa rempah-rempah ke negara asalnya, sehingga membuktikan Indonesia termasuk penghasil komoditi terpenting dalam jalur rempah seperti cengkeh dan pala.
“Pada abad ke-17 rempah-rempah memang lada, cengkeh, pala, dan kayu manis memang menghasilkan 50 persen dari omzet Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC),” kata Horst.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, Raja Sriwijaya bahkan diduga pernah melakukan monopoli pada pasar yang menjual kayu cendana untuk menghindari terjadinya komoditi tersebut habis dibawa oleh penduduk asing.
“Sepertinya rahasia Sriwijaya pun menentukan suatu monopoli atas sesuatu dalam hal ini kayu cendana. Apakah kita tidak teringat dengan pala, anda, dan VOC? Sampai 30 tahun Belanda tahu jalannya ke Banda. Mereka ambil pulau itu dan menjadikannya pulau Belanda. Usir semua orang menjadi pala itu sebagai monopoli mereka,” kata dia menjelaskan kenyataan pahit apabila sebuah komoditi asli Indonesia habis diambil negara lain.
Horst berharap pemerintah tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan apa yang terjadi dengan beberapa komoditi seperti kayu ulin yang sudah mulai habis di Indonesia.
“Mestinya kita pikirkan sistem ekonomi yang berbeda, di mana mungkin masing-masing pelaku dapat kita dorong untuk mempertimbangkan kelakuannya. Melihat bagaimana ini bisa berkesinambungan dan ramah lingkungan,” ucap dia.
Baca juga: Festival jalur rempah Banda diluncurkan tandai Muhibah Budaya 2021
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021