Maggot merupakan solusi terbaik karena mampu mereduksi sampah organik dalam jumlah besar dan cepat
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengajak warga mengolah sampah organik dengan memanfaatkan maggot atau larva dari lalat tentara hitam (black soldier fly) karena mampu menghasilkan nilai tambah bagi ekonomi rumah tangga.
“Maggot merupakan solusi terbaik karena mampu mereduksi sampah organik dalam jumlah besar dan cepat,” kata Kepala Bidang Peran Serta Masyarakat DLH DKI Jakarta Agung Pujo Winarko dalam diskusi di Jakarta, Rabu.
Baca juga: BUMDes Sokaraja Kulon gandeng Green Prosa kembangkan budi daya maggot
Masyarakat diharapkan berpartisipasi mengolah sampah organik dari rumah tangga dengan memanfaatkan ulat maggot, selain cara lain yakni mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos.
Dia menjelaskan larva maggot dewasa mampu memakan sampah organik dua hingga lima kali berat badannya per hari, dengan tidak perlu menggunakan lahan atau wadah yang besar.
Ulat tersebut, lanjut dia, memiliki siklus perkembangan dari telur yang ditetaskan oleh lalat tentara hitam (BSF) menjadi bayi larva sampai tujuh hari.
Baca juga: Maggot solusi urai sampah organik yang miliki nilai ekonomis
Kemudian menjadi larva magot dewasa selama 21 hari, kemudian menjadi pupa hingga meninggalkan cangkang dan kembali menjadi lalat dengan total siklus hidup selama 40-44 hari.
“Semua bisa dijual, mulai telur pasti laku, larva, pupa bisa dijual, cangkang pupa bisa buat tanaman, larva dewasa buat pakan ikan dan unggas, segala aspek ada manfaatnya,” katanya.
Dengan cara ilmiah itu, lanjut dia, sampah terutama sampah organik bisa dikurangi dengan waktu relatif cepat tanpa menghasilkan pencemaran namun memiliki nilai ekonomi.
Di pasaran lapak daring, per kilogram larva maggot kering untuk pakan ikan dihargai kisaran Rp50-60 ribu,
Sedangkan pupa per 500 gram dijual kisaran Rp50-52 ribu untuk calon lalat BSF.
Baca juga: Warga Pesanggrahan manfaatkan ulat maggot kurangi sampah organik
Dia menjelaskan DKI Jakarta menghasilkan sekitar 7.700 ton sampah per hari yang dikirimkan ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.
Dari jumlah itu, lanjut dia, sekitar 60 persen di antaranya dihasilkan dari kawasan permukiman atau rumah tangga.
“Dari 60 persen itu, 53 persen di antaranya adalah sampah organik,” imbuhnya.
Sedangkan di lingkungan pasar tradisional, 80-90 persen sampah yang dihasilkan adalah sampah organik.
Padahal, kata dia, kapasitas TPST Bantargebang diperkirakan sudah tidak lagi mampu menampung sampah kiriman dalam waktu beberapa tahun mendatang.
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021