Rasa cemas, takut dan stres ketika terinfeksi COVID-19 merupakan hal wajar dan harus diterima secara lapang dada sebagai langkah awal menjaga kesehatan mental saat isolasi mandiri.
Psikolog Rininda Mutia dari Universitas Indonesia mengatakan kegundahan itu wajar dirasakan karena itu merupakan pertanda ada sesuatu yang terjadi di sekitar manusia dan membuat mereka harus bertindak agar bisa bertahan.
"Terima dulu kalau kita merasa hal tersebut. Semakin kita menyangkal, 'biasa saja ah kena COVID-19', biasanya perasaan itu akan meluap di waktu lain. Jadi tidak bisa tidur dan kepikiran," jelas Rininda kepada ANTARA.
Stres muncul ketika seseorang merasakan tidak punya sumber daya yang sepadan dengan apa yang sedang dihadapi. Setelah berdamai dengan rasa stres, perbanyaklah sumber daya yang dibutuhkan agar stres berkurang dengan cara mencari informasi.
Cari tahu apa itu COVID-19, proses penularan, dampaknya dan tentu cara menanggulanginya. Membekali diri dengan ilmu pengetahuan membuat seseorang bisa terhindar dari rasa takut berlebihan yang tak baik bagi kesehatan batin.
Namun perlu diingat untuk mencari sumber informasi yang bisa dipercaya agar tidak terjebak hoaks yang justru menimbulkan kepanikan baru. Cari informasi dari media-media terpercaya serta situs resmi pemerintah. Jangan langsung percaya dengan informasi yang beredar di grup percakapan yang belum jelas sumbernya. Hindari membaca berita-berita yang membuat risau seperti rumah sakit yang penuh atau kasus COVID-19 terus naik.
"Memang COVID-19 muncul di era media sosial sedang booming, informasi bisa diakses 24 jam, kita tidak tahu apakah informasi itu valid atau tidak, jadi batasilah akses media sosial," ujar dia.
Baca juga: Menjaga kesehatan mental generasi sandwich
Baca juga: Ada enam kebiasaan yang memperburuk mental saat pandemi
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu perlu untuk berinteraksi dengan orang lain. Ketika isolasi mandiri, interaksi fisik tak bisa dilakukan dengan orang lain, tapi manfaatkanlah teknologi agar tetap terhubung dengan keluarga atau sahabat.
Sosialisasi itu penting dilakukan, terlebih ketika Anda berada dalam isolasi dan merasa sedang terkurung. Terhubung dengan orang lain bisa mengusir rasa kesepian dan tertekan. Bagilah perasaan Anda dengan orang lain, perbincangan bisa mengikis rasa sepi dan membuat Anda tidak sendirian berkat dukungan orang lain. Lakukan panggilan video dengan orang-orang terdekat agar tetap semangat dalam menjalani hari.
Jika mengenal penyintas lain, berbincanglah untuk mendapatkan masukan berdasarkan pengalaman mereka agar isolasi mandiri terasa ringan.
Bila perlu, ikuti acara kumpul-kumpul virtual yang banyak digelar di dunia maya. Seminar virtual hingga kelas virtual, semuanya bisa dipilih sesuai apa yang disukai.
Setelah mengetahui informasi mengenai COVID-19 dan cara menghadapinya, arahkan perilaku menuju hal-hal yang bermanfaat untuk diri sendiri. Dia mencontohkan fenomena panic buying yang terjadi beberapa waktu lalu di mana berbagai vitamin ludes karena diserbu orang-orang saat kasus COVID-19 sedang tinggi. Berpikirlah dengan kepala dingin, bila memang perlu vitamin jangan kalap saat membeli.
"Jangan karena lagi positif COVID-19 beli sebanyak-banyaknya, akhirnya uang habis untuk vitamin tapi hal lain malah ditelantarkan. Dengan informasi yang baik, perilaku jadi lebih terarah."
Langkah selanjutnya adalah berpikir dan mengambil tindakan untuk apa yang terjadi sekarang alih-alih memikirkan masa lampau dan masa depan yang belum terjadi. Memikirkan apa yang bisa diubah di masa lalu dan apa kemungkinan terburuk di masa depan hanya akan memperparah kecemasan.
"Berpikir 'here and now', di sini dan saat ini. Jangan terlalu jauh ke belakang atau ke depan."
Jangan terjebak dalam penyesalan yang berkepanjangan atas kesalahan masa lalu yang membuat Anda terinfeksi COVID-19. Menyalahkan masa lalu terus menerus dan tak henti meratap tidak akan mengubah keadaan karena yang lalu tidak bisa diulang lagi.
"Tapi bisa dipelajari untuk ke depan, seperti jangan kumpul-kumpul lagi, kalau sudah terjadi, terimalah."
Di sisi lain, jangan terlalu memikirkan hal-hal yang belum terjadi di masa depan yang malah membuat pikiran semakin ruwet. Apalagi bila yang dipikirkan adalah hal-hal negatif yang membuat diri semakin takut dan khawatir.
"Memikirkan sesuatu yang belum terjadi juga tidak baik, tapi fokus kita ketika didiagnosa COVID-19 adalah apa yang bisa dilakukan saat ini," katanya.
Tindakan yang lebih penting menjadi prioritas, contohnya menghubungi Satgas COVID-19 terdekat, menghubungi Puskesmas di dekat rumah agar bisa dipantau, menghubungi pihak kantor, mengabari keluarga serta memberitahu orang-orang yang pernah kontak dekat bila memang pernah berjumpa dengan orang lain.
Saat berdiam diri di rumah, carilah kegiatan yang bermanfaat untuk batin Anda seperti relaksasi yang panduannya sudah beredar di Internet. Manfaatkan waktu untuk melakukan kegiatan yang dulu belum sempat Anda lakukan. Pastikan untuk tetap menjaga kebugaran dengan olahraga-olahraga ringan.
"Pastikan tidur, makan, minum, semua tercukupi, jangan lupa juga berjemur," ujar dia.
Waktu luang di tengah isolasi mandiri dapat juga digunakan untuk mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa lewat ibadah yang lebih intensif.
Menjaga kesehatan tubuh pada saat pandemi memang sangat penting untuk dilakukan. Namun jangan abaikan kondisi kesehatan mental, karena pikiran sehat dan hati yang gembira adalah obat yang paling mujarab.
Baca juga: Kiat atasi "overthinking"
Baca juga: Selena Gomez mengaku lega saat didiagnosis bipolar
Baca juga: Riset ungkap pelajaran berharga dari pandemi
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021