Hal ini karena banyak regulasi yang terbit melalui SK Menteri KLHK di berbagai provinsi kerap ‘menabrak” hak legalitas sah kepemilikan lahan masyarakat dan pelaku usaha.
“Di sisi lain, penetapan kawasan hutan versi KLHK tidak punya kekuatan karena merupakan domain pemerintah dalam hal ini Presiden,” kata Sudarsono dalam keterangan tertulis, di Bogor Sabtu.
Ia menjelaskan, salah satu putusan Menteri KLHK yang membuat kegaduhan adalah SK Menhut No.579 tahun 2014. Keberadaan beleid ini dinilai menghambat percepatan program PSR khususnya di Sumatera Utara.
Banyak perkebunan sawit masyarakat yang telah memiliki HGU dan izin lain dianggap ilegal karena ‘dicap’ berada di kawasan hutan. Akibatnya, banyak petani sawit tidak bisa mendapat bantuan pemerintah.
Seharusnya, hak-hak atas tanah masyarakat yang telah punya legalitas dan telah diupayakan puluhan tahun, dikeluarkan terlebih dulu, baru setelahnya dilakukan penetapan kawasan hutan.
“Hal ini mengakibatkan energi dan uang masyarakat habis untuk berperkara di pengadilan akibat arogansi satu instansi pemerintah. Presiden perlu kita ingatkan,” kata Sudarsono.
Baca juga: BPDPKS: Realisasi dana Program PSR Agustus mencapai Rp6,232 triliun
Baca juga: Aspekpir dukung percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat
Dia menambahkan pelaku usaha perlu serius mendekati Presiden, jadi tidak sekedar seremonial, namun perlu memberikan penjelasan serius agar Presiden paham masalah yang terjadi.
Ia juga mengingatkan, Kementerian ATR/BPN lebih berani mempertahankan produknya seperti sertifikat kepemilikan, HGU dan sebagainya sebagai bukti kepemilikan sah dan diakui negara.
“Keragu-raguan Kementerian ATR/BPN dalam mempertahankan produknya kerap membuat masyarakat gamang sehingga selalu diperhadapkan pada persoalan sulit terkait legalitas kepemilikan,” kata Sudarsono.
Regulasi lain yang perlu dikritisi yakni UU NO 11 tahun tentang kehutanan. Dalam pasal 15 ini ayat 3 ada penambahan aturan baru menyangkut pengukuhan kawasan hutan. Di ayat ini disebutkan bahwa pengukuhan kawasan hutan bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit.
“Sebetulnya tidak ada yang salah dengan memanfaatkan teknologi canggih. Hanya saja, untuk menyelesaikan tata batas tidak hanya sekedar di atas kertas,” jelas Sudarsono.
Menurut Sudarsono, secanggih apapun teknologi, peninjauan ke lapangan merupakan hal penting karena ada hak-hak pihak ketiga di dalam.Dia mengingatkan, jika aturan ini dibiarkan, punya potensi penyalahgunaan.
“Penataan kawasan yang turun ke lapangan langsung saja, banyak persoalan di dalamnya. Apalagi jika memanfaatkan satelit pasti banyak hak-hak masyarakat yang hilang,” kata Sudarsono.
Direktur Pengaturan dan Penetapan Hak Atas Tanah Ruang, Kementerian ATR/BPN Husaini mengatakan, pemerintah masih menganggap sertifikat tanah itu sebagai legalitas kepemilikan sah yang sepanjang tidak perubahan berdasarkan keputusan pengadilan.
“Semua ini berlaku bagi semua sertifikat, apalagi sertifikat yang telah berumur lama hingga 35 tahun,” kata Husaini.
Sementara itu, Dewan Pakar Persaki, Petrus Gunarso mengingatkan, tanpa perubahan sistem dalam penetapan kawasan hutan, maka kepastian berusaha dan kepastian hak akan tanah akan selamanya terpasung.
Dalam hal ini, Kementerian LHK seharusnya berperan sebagai pengayom bagi seluruh sektor karena fungsi jamak dari hutan.
Ia juga mengatakan KLHK perlu mengubah sistem dalam penetapan kawasan hutan menjadi lebih manusiawi dengan mengadopsi asas yang berlaku umum dalam pendaftaran tanah yaitu “contradictiore delimitatie”.
KLHK juga perlu diingatkan agar tidak berjalan sendiri dan harus bekerja sama dengan sektor lain dalam upaya percepatan penyelesaian penataan kawasan hutan.
Baca juga: Gapki Sumsel berharap peremajaan sawit rakyat berlanjut
Baca juga: Kementan targetkan peremajaan sawit rakyat tumbuh 180 ribu ha/tahun
Pewarta: Budi Suyanto
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021