PON Papua dan ekspos protokol kesehatan

2 September 2021 09:50 WIB
PON Papua dan ekspos protokol kesehatan
Maskot Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua Drawa terpasang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (14/7/2021). Presiden Joko Widodo memastikan PON XX Papua tetap akan berlangsung pada 2-15 Oktober 2021. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Sudah banyak event olahraga internasional yang seharusnya diadakan di Indonesia tahun ini yang terpaksa ditunda karena pandemi. Terakhir FIBA Asia Cup 2021 yang semestinya digelar dari 17 sampai 29 Agustus lalu.

Desember tahun lalu, FIFA memutuskan menunda Piala Dunia U-20 yang sedianya diadakan di Indonesia tahun ini, menjadi 2023.

Memang mengecewakan tetapi harus dilakukan demi menjaga keselamatan masyarakat dari pandemi yang masih merajalela di mana angka infeksi kerap kali naik dan tingkat vaksinasi juga masih rendah namun belakangan digenjot pada level yang bisa mendekati terciptanya herd immunity.

Vietnam yang menjadi salah satu cerita sukses bagaimana harus menghadapi pandemi namun kemudian menyadari varian baru tak cukup dilawan dengan hanya pembatasan sosial yang ketat namun juga mesti dibarengi dengan tingkat vaksinasi yang tinggi, juga meminta SEA Games ditunda.

Event itu seharusnya digelar di Vietnam mulai 21 November sampai 2 Desember. Pada 8 Juli, ASEAN sepakat meluluskan permintaan Vietnam dengan memundurkan SEA Games ke tahun depan.

Sebaliknya, pemerintah Indonesia memutuskan PON Papua tahun ini tetap digelar sesuai waktu yang sudah ditentukan setelah setahun lalu tertunda.

Baca juga: PB PON Papua tunggu teknis protokol kesehatan dari pemerintah pusat

Ini keputusan yang berani, tetapi mungkin memang sudah dipertimbangkan dengan masak, terutama dalam kaitannya dengan protokol kesehatan yang menjadi aspek penting dalam menyelenggarakan event olahraga selama pandemi.

Protokol kesehatan sendiri sudah menjadi bagian penting dalam setiap turnamen atau kompetisi yang diadakan baik oleh negara maupun organisasi olahraga.

Beberapa kawasan seperti Eropa dan Amerika Serikat menyelenggarakan event tanpa penonton yang disertai protokol kesehatan ketika angka infeksi masih tinggi. Namun mereka kini sudah tak seketat dulu karena tingkat vaksinasinya sudah mencapai proporsi yang bisa mendekati level untuk terciptanya herd immunity.

Namun di beberapa bagian dari kawasan-kawasan itu, prinsip-prinsip pencegahan penularan seperti mengenakan masker dan menjaga jarak fisik, tetap diberlakukan, seperti pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia zona Eropa, di antaranya di Estadio Algarve di Portugal ketika tuan rumah Portugal menjamu Republik Irlandia, Kamis dini hari tadi.

Pandemi yang kian menular dari waktu ke waktu itu membuat vaksin menjadi bagian yang makin penting dalam mengendalikan penularan COVID-19.

Baca juga: Panitia jabarkan protokol kesehatan ketat untuk peserta PON XX Papua

Sebaliknya, tingkat vaksinasi yang rendah, ditambah varian baru yang lebih menular, membuat bagian terbesar rakyat Jepang menginginkan Olimpiade Tokyo dibatalkan, sekalipun event ini tetap digelar namun dipandu oleh protokol kesehatan yang amat ketat.

Memang ada upaya memberikan pesan bahwa Jepang tak mau terus terpuruk oleh pandemi. Tapi ambisi itu tetap disertai dengan protokol kesehatan yang ketat, sampai Olimpiade Tokyo itu pun digelar dalam sistem gelembung yang tak bisa dimasuki oleh orang-orang yang tidak terkait langsung dengan Olimpiade, khususnya penonton.

Tapi protokol kesehatan yang ketat itu pula yang membuat pemerintah Jepang dibanjiri pujian, bahkan dijadikan benchmark atau patokan untuk turnamen atau kompetisi olahraga berikutnya oleh banyak negara dan organisasi olahraga, termasuk Australia yang akan menyelenggarakan Olimpiade Brisbane 2030.

China juga merujuk sukses Olimpiade Tokyo dengan menjanjikan Olimpiade Musim Dingin 2022 yang simpel namun tetap mempertimbangkan aspek kesehatan.

Baca juga: Kisah begitu ketatnya protokol kesehatan Olimpiade Tokyo


Peta jalan

Jepang pertama kali menerbitkan protokol kesehatan Olimpiade Tokyo pada 28 April 2021 dalam laman Olympics.com atau tiga bulan sebelum Olimpiade Tokyo digelar dan dua bulan sebelum varian Delta yang amat menular itu, mencapai Jepang.

Protokol ini kemudian direvisi satu bulan sebelum Olimpiade digelar dan secara khusus ditujukan kepada tujuh kelompok yang terlibat dalam Olimpiade.

Protokol pertama untuk atlet dan ofisial, setebal 70 halaman. Kemudian untuk pers peliput 68 halaman. Lalu, untuk broadcaster atau menyiarkan event-event lomba 68 halaman. Untuk staf pendukung sebanyak 64 halaman.

Ada juga untuk mitra pemasaran sebanyak 64 halaman. Dan untuk federasi-federasi cabang olahraga setebal 68 halaman.

Walaupun isinya tak terlalu berbeda, namun panduan itu sudah diketahui lama sebelum atlet, ofisial dan orang-orang terkait langsung dengan Olimpiade, termasuk wartawan, tiba di Jepang.

Dengan cara begitu, semua orang sudah tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tidak saja selama Olimpiade, tetapi juga sebelum mencapai situs Olimpiade dan setelah Olimpiade selesai.

Pada tingkat tertentu, protokol kesehatan Olimpiade Tokyo itu membantu penyelenggara-penyelenggara acara olahraga di mana saja, termasuk PON Papua di Indonesia, khususnya sebagai rujukan dalam kaitannya dengan cara menseriusi bahaya COVID-19.

Ketua Panitia Pengawas dan Pengarah PON Papua Mayjen TNI (Purn) Suwarno memang pernah menjabarkan protokol kesehatan PON dalam diskusi virtual FMB9 pertengahan Agustus lalu, namun informasi detil mengenai protokol kesehatan yang bisa diakses siapa pun semestinya sudah tersedia, paling tidak dalam laman PON.

Banyak pertanyaan yang bisa diajukan perihal protokol kesehatan PON. Misal, bagaimana pihak-pihak terkait PON di luar atlet termasuk wartawan, bisa menyukseskan acara ini dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Itu bisa mulai dari hal-hal kecil seperti tingkat ketersediaan kamar untuk setiap orang karena akan berisiko jika satu kamar diisi oleh lebih dari satu orang, apalagi belum ada kepastian apakah kompetisi nanti digelar memakai sistem gelembung atau tidak, sekalipun Kementerian Kesehatan merekomendasikan PON Papua digelar tanpa penonton.

Baca juga: Buku panduan COVID-19 PON Papua masih terus dimatangkan

Tapi jika tidak memakai sistem gelembung, bagaimanakah sistem penelusuran kontak dilakukan dan seberapa sering frekuensi tes COVID dilakukan, karena kalau tanpa gelembung bakal terjadi kontak dengan pihak luar yang tak terkait langsung dengan PON, termasuk penonton.

Lalu, akankah panitia terbuka mengungkapkan jumlah yang terpapar tanpa terlalu detail mengungkapkan nama atau asal cabang olahraga seperti berlaku dalam Olimpiade Tokyo dan perhelatan-perhelatan olahraga internasional lainnya?

Bagaimana pula dengan aturan kelanjutan kompetisi jika di tengah kompetisi terdapat peserta yang terpapar atau dalam lingkup kontak individu yang terpapar. Bagaimana dengan mereka yang datang dan pergi sebelum dan setelah PON. Haruskah menjalani karantina?

Semua ini layak dipertimbangkan, demi terciptanya koherensi antara kompetisi yang sukses dalam aspek prestasi olahraga, dengan berlaku efektif dan tegasnya protokol kesehatan.

Jika kedua hal itu bisa diharmonisasikan maka PON Papua bisa membawa dua pesan penting kepada bangsa ini bahwa Indonesia bisa menyelenggarakan event olahraga dengan baik tetapi juga bisa menjaga tingkat keterpaparan COVID-19 berada pada tingkat yang seminimal mungkin.

Hal ini juga akan menjadi pesan baik dan warisan kepada generasi mendatang mengenai cara bangsa ini memperlakukan pandemi, khususnya ketika mereka harus menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di tengah pandemi di kemudian masa atau di tengah kondisi kesehatan yang luar biasa berat.

Baca juga: Dinkes Papua sebut vaksinasi di klaster PON capai 49,25 persen

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Teguh Handoko
Copyright © ANTARA 2021