"Nanti akan dikaji. Kalau memang sangat visible bisa didesiminasi. Artinya, bisa digunakan untuk wilayah-wilayah lain," kata Menko PMK Muhadjir Effendy saat meninjau proses skrining tuberculosis (TB) mobile di Kecamatan Mergangsan Kota Yogyakarta, Jumat.
Menurut dia, kajian dari program skrining TB tersebut akan dilakukan terhadap berbagai parameter, seperti biaya peralatan yang dibutuhkan, karena dalam proses skrining tersebut membutuhkan berbagai peralatan seperti mobil rontgen, komputer, dan aplikasi untuk melakukan deteksi awal TB.
Baca juga: Proses berobat dan konsistensi pasien jadi tantangan pengobatan TB
Baca juga: 1.103 kasus penyakit TB ditemukan di Madiun-Jatim selama 2018
"Perlu dibicarakan lagi dengan Kementerian Kesehatan dan kementerian teknis di bawah PMK. Tetapi secara sekilas, skrining bisa dilakukan dalam waktu yang cepat," katanya.
Muhadjir sempat melakukan rontgen paru-paru dan menyebut jika hasil rontgen sudah langsung terhubung dengan komputer di meja dokter.
"Jadi, ketika turun dari mobil rontgen, dokter pun sudah tahu bagaimana kondisi saya. Sangat praktis dan saya kira biayanya lebih murah dibanding rontgen konvensional," katanya.
Di Indonesia, angka penderita TB masih cukup tinggi, yaitu sekitar 860.000 atau menempati posisi kedua di dunia setelah India. Namun demikian, dimungkinkan jumlah penderita lebih banyak karena ada fenomena gunung es.
"TB ini hampir sama seperti COVID-19. Ada pasien yang menunjukkan gejala, tetapi ada juga yang tidak. Makanya, jika bisa dilakukan skrining lebih banyak tentu akan baik," katanya.
Indonesia sudah memiliki regulasi terkait penanganan TB untuk mencapai target zero TB pada 2030, sehingga inovasi di Yogyakarta dapat dijadikan modal untuk membuat strategi percepatan penanganan TB yang lebih baik.
Baca juga: FKKMK UGM luncurkan "Zero Tuberculosis Yogyakarta"
Sementara itu, Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan skrining TB secara mobile dari kecamatan ke kecamatan yang dilakukan tahun ini untuk menemukan kasus sekaligus melakukan pemetaan penularan TB di Yogyakarta.
Nantinya, wilayah Yogyakarta akan dibagi dalam beberapa zona berdasarkan warna untuk mengetahui kondisi penularan di tiap wilayah, termasuk menerapkan strategi penanganannya.
Pada tahun ini, inovasi skrining TB secara mobile tersebut sudah dilakukan di tiga kecamatan, yaitu Gondomanan, Keraton, dan Mergangsan dengan total temuan terduga TB sebanyak 66 warga.
"Nantinya, akan dilakukan di seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta. Pola penanganan TB ini mengikuti pola penanganan COVID-19, yaitu dengan memperbanyak skrining dan tracing," katanya.
Sementara itu, Direktur Zero TB Yogyakarta Rina Triyarsih mengatakan inovasi tersebut ditujukan untuk skrining awal dan menyaring warga yang terduga mengidap TB.
"Warga yang terduga akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk menegaskan diagnosis dari dokter, kemudian diambil tindakan medis untuk penyembuhan," katanya.
Pasien penderita TB tetap diminta melakukan pengobatan selama enam bulan.
Baca juga: Angka kesembuhan TB di Yogyakarta masih di bawah target
Selain untuk pasien TB, Rina menyebut, penanganan TB juga perlu dilakukan untuk upaya pencegahan khususnya orang yang berada di sekitar penderita.
"Pengobatan pencegahan ini sangat penting dilakukan, namun cakupannya masih tergolong rendah, kurang dari 20 persen," katanya.
Pengobatan pencegahan TB dilakukan dengan mengonsumsi obat selama tiga bulan. “Ini yang terkadang sulit, karena masyarakat menganggap mereka tidak sakit, tetapi dipaksa minum obat rutin tiga bulan,” katanya.
Padahal, lanjut dia, pengobatan pencegahan TB sangat diperlukan untuk memastikan target zero TB di Indonesia pada 2030 bisa terwujud.
Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021