"Perhitungannya dilakukan secara bertahap yang kemudian menjadi 25 persen pada Juni 2023 dan 30 persen di Juni 2024," ujar Juda dalam Taklimat Media di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan perluasan target pembiayaan inklusif tersebut dilakukan karena UMKM sangat berperan dalam perekonomian, dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi serta pangsa yang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga UMKM menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional.
Nantinya, akan terdapat sanksi bagi bank yang tidak bisa memenuhi target RPIM tersebut, yang akan diawali dengan teguran tertulis terlebih dahulu pada Juni 2022 dan Desember 2022.
"Teguran tertulis tersebut juga akan ditembuskan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," ungkap Juda.
Jika nantinya teguran tersebut tidak bisa dipenuhi, Juda menyebutkan akan ada sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,1 persen dikali nilai kekurangan RPIM (maksimal Rp5 miliar untuk setiap posisi pemenuhan RPIM), yang akan diberlakukan sejak Juni 2023.
Namun, sanksi RPIM akan dikecualikan untuk bank yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha seperti kredit/pembiayaan dan/atau penghimpunan dana oleh OJK, Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI)/Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK), serta bank perantara.
Adapun ketentuan tersebut merupakan bagian dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah yang baru diterbitkan dan berlaku efektif pada 31 Agustus 2021.
Baca juga: BI : Bank harus penuhi minimal pembiayaan inklusif 20 persen pada 2022
Baca juga: Gubernur BI tak hanya andalkan bunga acuan dalam hadapi tapering
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021