• Beranda
  • Berita
  • Anggota DPR: Permendikbud Dana BOS mendiskriminasi hak anak bersekolah

Anggota DPR: Permendikbud Dana BOS mendiskriminasi hak anak bersekolah

6 September 2021 20:47 WIB
Anggota DPR: Permendikbud Dana BOS mendiskriminasi hak anak bersekolah
Foto bersama siswa dan guru SMP Negeri 5 Banda satu atap di Pulau Rhun, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. ANTARA/Fauzi Lamboka

Aturan ini mendiskriminasi hak dasar anak-anak Indonesia untuk bersekolah dan melanggar konstitusi

Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menegaskan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah mendiskriminasi hak anak Indonesia untuk bersekolah.

"Aturan ini mendiskriminasi hak dasar anak-anak Indonesia untuk bersekolah dan melanggar konstitusi," kata Fikri dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Senin.

Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler itu, mensyaratkan sekolah penerima bantuan minimal harus memiliki 60 murid.

Fikri menyatakan, aturan tersebut telah menyalahi konstitusi negara secara umum.

"Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan tujuan negara salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Fikri menegaskan.

Fikri menjelaskan tujuan alokasi dana BOS sudah sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (2) Bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya.

"Kewajiban ini secara leterlijk atau harfiah, sehingga BOS menjadi hak setiap anak sekolah di Indonesia untuk menikmatinya tanpa kecuali," kata Fikri.

Persyaratan jumlah murid bagi sekolah penerima dana BOS tertera dalam Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 Pasal 3 ayat (2) huruf (d) berbunyi, "memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 (enam puluh) peserta didik selama 3 (tiga) tahun terakhir".

Fikri menyatakan, pada dasarnya BOS digunakan untuk kemanfaatan belajar bagi seluruh peserta didik yang bersekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah, sesuai dengan amanat program wajib belajar.

"Jadi bukan semata untuk sekolahnya, tapi untuk murid yang bersekolah di situ, karena basis perhitungan besaran BOS berdasarkan jumlah murid," ujar Fikri.

Diskriminasi atas sekolah dengan jumlah murid di bawah 60 orang, menurutnya lagi, juga berpotensi menimbulkan kesenjangan yang tajam bagi daerah-daerah pada kondisi tertentu.

"Misalnya di daerah dengan geografi dan biografi yang tidak menguntungkan," ujarnya pula.

Walaupun, kata dia, dalam Pasal 3 ayat (3) mengecualikan sekolah dengan kondisi tertentu, antara lain sekolah di daerah khusus yang ditetapkan oleh kementerian, dan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah yang berada pada wilayah dengan kondisi kepadatan penduduk yang rendah dan secara geografis tidak dapat digabungkan dengan sekolah lain.

Namun, menurut Fikri, penetapan sekolah dengan kondisi khusus/ tertentu itu hanya akan memperpanjang jalur birokrasi bagi sekolah-sekolah yang berhak untuk menerima dana BOS reguler.

"Padahal prinsip dasar konstitusi kita adalah bagaimana Pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang merata dan berkeadilan, termasuk dalam alokasi dana BOS,” kata Fikri lagi.
Baca juga: Aliansi Pendidikan protes kebijakan penyaluran dana BOS
Baca juga: Komisi X sebut dana BOS bisa lancarkan rencana sekolah tatap muka

Pewarta: Fauzi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021