Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, Fahri memandang pikiran tersebut mesti diarusutamakan agar menjadi mazhab politik hukum baru dalam sistem peradilan Indonesia.
"Pikiran itu perlu mendapat respons lanjutan dari Presiden Joko Widodo dan legislator DPR RI, termasuk lembaga yudikatif agar melahirkan langkah-langkah yang lebih taktis dan strategis bagi penyempurnaan sistem hukum di Indonesia," jelas Fahri.
Menurut Fahri, gagasan Jaksa Agung memiliki arti sangat penting yang akan mengubah wajah sistem peradilan pidana di Indonesia. Pasalnya, sudah terlalu lama Indonesia mengadopsi dan menjalankan sistem hukum kolonial yang retributif, yakni berorientasi pada penghukuman atau pemidanaan.
Baca juga: Sahabat DPR minta elite tidak saling menyalahkan di tengah pandemi
“Kita sudah merdeka bahkan beralih menjadi negara demokrasi modern tapi hukum masih otoriter,” ujar Fahri.
Fahri menegaskan telah membaca utuh pidato pengukuhan Guru Besar Jaksa Agung di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Pidato itu memberi harapan bagi masa depan penegakan hukum demokratis di Indonesia.
Selaku mantan pimpinan Komisi Hukum DPR RI 2009-2014, ia cukup memahami persoalan sistem hukum yang mesti dibenahi. Bahkan di penghujung masa jabatannya sebagai wakil ketua DPR RI tahun 2019, Fahir bersama anggota DPR lain hampir saja mengesahkan revisi UU KUHP dan UU Lembaga Pemasyarakatan.
Namun, dua proses revisi yang telah mengadopsi paradigma hukum modern itu ternyata harus gagal dan tertunda karena satu dan lain alasan.
“Saya menyambut tinggi, ketika ide-ide besar itu ternyata landasan dalam pikiran Jaksa Agung,” kata Fahri.
Baca juga: Fahri Hamzah sebut biaya politik mahal "bumerang" sistem demokrasi
Fahri mengucapkan terima kasih pada Jaksa Agung ST Burhanuddin atas pikiran besar itu. Dia berharap dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
"Selamat atas gelar baru sebagai profesor ilmu keadilan restoratif di Unsoed. Vivant Professores!,” kata Fahri.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin dikukuhkan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah, Jumat (10/9).
Ia dianugerahi gelar profesor kehormatan karena dinilai berhasil menerapkan "restorative justice" dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Burhanuddin mengenalkan gagasan hukum berdasarkan hati nurani, yakni cara mewujudkan keadilan hukum yang hakiki dengan berpijak pada kemanfaatan dan kepastian hukum secara bersamaan dengan melibatkan komponen hati nurani.
Baca juga: Fahri Hamzah mendorong konsolidasi sistem terkait polemik TWK KPK
“Bentuk kristalisasi agar hukum berdasarkan hati nurani teraplikasi dengan baik, maka saya selaku penuntut umum tertinggi mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Keadilan Restoratif,” katanya dalam pidato pengukuhannya.
Hasilnya, lanjut Burhanuddin, hingga Agustus 2021 sudah terdapat 304 perkara yang berhasil diselesaikan berdasarkan keadilan restoratif. Dengan kata lain, dalam setiap hari hampir ada 1 perkara yang bisa selesai dengan jalan damai antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Sejauh ini banyak akademisi, praktisi maupun tokoh masyarakat yang memberi tanggapan positif atas gagasan dan kebijakan tersebut.
Langkah Burhanuddin dianggap fenomenal karena disamping menghadirkan keadilan bagi masyarakat bawah dalam kasus tindak pidana ringan, di sisi lain menunjukkan usaha serius bagi penegakan kasus besar seperti korupsi Asabri dan sebagainya.
Pewarta: Fauzi
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021