“Sudah banyak OMS yang terjun ke literasi digital dan pendampingan-pendampingan penguasaan digital, itu juga sangat membantu kita untuk meningkatkan kualitas demokrasi,” kata Yanu dalam seminar nasional hasil riset dan policy brief bertajuk “Peran Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Kesetaraan Gender Dalam Demokrasi Indonesia di Era Digital” pada Senin.
Baca juga: Kemenkop gandeng Perpusnas dukung literasi UMKM
Baca juga: Pengguna media sosial diharap bisa terapkan empati saat berkomentar
Oleh sebab itu riset yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dengan dukungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tersebut bertujuan untuk menggali lebih jauh peran OMS dalam mengurangi atau menutup celah ketimpangan gender digital, kata Yanu.
Yanu menyebutkan OMS memiliki posisi strategis dalam demokrasi sebagai jembatan atau penyambung lidah antara rakyat dan pemerintah sehingga mustahil untuk mengabaikan peran mereka.
“Ketimpangan gender dan ketimpangan digital itu eksis. Kalau keduanya digabungkan maka perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, terutama internet pada hari ini, bisa punya dua kemungkinan. Pertama mempersempit jurang ketimpangan, atau kedua justru memperlebar ketimpangan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo menyebutkan berdasarkan data Susenas (2019), akses internet untuk kaum perempuan secara konsisten timpang selama kurun waktu antara 2016 hingga 2019. Selisih pengguna internet antara laki-laki dan perempuan sebesar 7,6 persen pada 2016, 7,04 persen pada 2017, 6,34 persen pada 2018, dan 6,26 persen pada 2019.
Kemudian dari sisi penggunaan komputer, kesenjangan juga terbukti secara persisten dari tahun ke tahun. Pada 2019, laki-laki pengguna komputer sebanyak 15,17 persen sementara perempuan 13,77 persen.
“Ketimpangan itu dilatarbelakangi oleh akses material, salah satunya adalah ketimpangan upah. Selisih upah antara perempuan dan laki-laki kira-kira 250.000 sampai 500.000 selama kurun waktu 2015 hingga 2018, menurut data BPS dalam Laporan Perekonomian 2019,” kata Sugeng.
Baca juga: Kominfo dorong kolaborasi bersama masyarakat ikut literasi digital
Selain itu, ia juga menyebutkan meski UMKM hampir identik dengan keterlibatan kaum perempuan, namun masih banyak UMKM yang tidak menggunakan internet secara penuh untuk pemasaran secara daring. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan gender digital memang terjadi.
“OMS sudah mencoba mengatasi dan melakukan kontribusi dengan berbagai cara. Saya kira ada banyak ragam yang sudah mereka kerjakan, seperti literasi digital dan penguatan kapasitas teknis kepada kelompok rentan termasuk perempuan,” ujar Sugeng.
Yanu mengatakan permasalahan ketimpangan gender dan ketimpangan digital yang masih eksis menjadi menantang untuk diselesaikan. Peneliti INFID memandang OMS tidak dapat berjalan sendirian untuk mendorong kesetaraan gender digital, begitu pula dengan pemerintah. Selain itu, sektor privat juga perlu dilibatkan lebih jauh sebab penyedia TIK banyak di sektor privat yang selama ini mungkin masih belum terhubung dengan baik
Sugeng berpendapat demokrasi Indonesia akan kurang bermakna jika kesenjangan digital yang dialami perempuan tidak ditangani secara sungguh-sungguh. Salah satu rekomendasi yang diberikan INFID, pemerintah perlu sungguh-sungguh memperluas akses keterjangkauan dan literasi digital hingga ke pelosok desa.
“Jadi pemerintah harus menargetkan dan hal itu bisa dilakukan dengan cara, selain soal fisik dan infrastruktur, SDM-nya bisa bekerja sama dengan jaringan OSM sebagai modal sosial, jaringan sosial, dan pembaharu yang siap,” tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan Peneliti Kebijakan Publik Marlis Afridah. Ia menyebutkan salah satu usulan kebijakan untuk menguatkan peran OMS untuk menangani ketimpangan gender digital adalah melakukan kolaborasi pemerintah dan OMS dalam Gerakan Literasi Digital Nasional.
“Saat ini pemerintah bersama Kominfo sedang menyusun Peta Jalan Indonesia Digital sampai 2024 dengan target akan terdigitalkan minimal 12,4 juta orang Indonesia per tahun. OMS punya pengalaman di akar rumput untuk membantu dalam agenda ini,” ujar Marlis.
Ia menekankan penanganan ketimpangan gender digital akan lebih efektif jika melibatkan OMS sebab mereka lebih mengenal dan dekat dengan masyarakat di akar rumput. Selain itu, pemerintah di seluruh dunia juga sudah mulai mengandalkan peran OMS dalam realita kebijakan publik di era ini.
Baca juga: Literasi digital jadi tantangan utama dorong UMKM naik kelas
Baca juga: Ketergantungan berlebihan membuat teknologi digital jadi bumerang
Baca juga: Literasi Digital sebagai langkah mitigasi hoaks dan disinformasi
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021