• Beranda
  • Berita
  • Industri hasil tembakau butuh inovasi berbasis kajian ilmiah

Industri hasil tembakau butuh inovasi berbasis kajian ilmiah

21 September 2021 11:56 WIB
Industri hasil tembakau butuh inovasi berbasis kajian ilmiah
Sejumlah buruh rokok tengah bekerja di salah satu pabrik di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif

Insentif-insentif berperan agar produk-produk inovasi ini bisa menjangkau pasar dan konsumen

Pemerintah sejumlah negara termasuk Indonesia dinilai harus mengedepankan inovasi berbasis kajian ilmiah dalam pengembangan produk tembakau alternatif untuk menurunkan prevalensi perokok dengan memberikan insentif bagi industri hasil tembakau.

Di Indonesia, produk tersebut dikategorikan sebagai hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) seperti rokok eletrik (vape), produk tembakau yang dipanaskan, snus dan kantong nikotin.

"Diperlukan kerangka kebijakan publik yang kondusif untuk memberi ruang agar tercipta lebih banyak eksperimen dan inovasi serta menghilangkan berbagai hambatan dalam industri hasil tembakau," kata Chief Executive Officer (CEO) Center for Market Education Carmelo Ferlito dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Dalam webinar "The New Wave of Innovation Policies in Asia", Carmelo mengatakan, selain mengurangi prevalensi, inovasi ini bisa menjadi penopang pertumbuhan, pasar, dan ekonomi.

Sayangnya, menurut dia, kebijakan publik yang mendorong inovasi belum banyak dilakukan oleh banyak negara, terutama di Asia apalagi terkait produk-produk tembakau alternatif.

"Insentif-insentif berperan agar produk-produk inovasi ini bisa menjangkau pasar dan konsumen. Sayangnya, kerangka kebijakan di Asia, masih mengacu pada konsumsi tembakau dan nikotin, masih sangat terfragmentasi," katanya.

Hal senada diungkapkan Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis UGM Artiatun Adji. Dalam seminar tersebut ia menekankan insentif untuk produk inovasi seperti produk tembakau alternatif. Hal itu dikarenakan produk itu memiliki aspek pengurangan risiko yang dapat mendorong inovasi yang berkelanjutan.

"Perlu ada diferensiasi tarif untuk produk yang mendukung pertumbuhan secara berkelanjutan dan berinovasi untuk mengurangi risiko. Seperti kantung plastik konvensional dan yang mudah terurai, atau kendaraan listrik dengan kendaraan bensin, termasuk produk tembakau alternatif dengan rokok konvensional," ujarnya.

Insentif dapat diberikan dengan diferensiasi tarif untuk produk-produk yang mendukung Sustainable Development Goals (SDG's) atau yang erat dengan inovasi terhadap pengurangan risiko perlu mendapatkan keringanan pajak dibandingkan produk-produk konvensional.

Pemberlakuan pajak juga dapat ditentukan sesuai dengan tujuan pengenaan pungutan pada produk-produk tembakau alternatif, di mana dalam pengendalian tembakau skema cukai dapat dikenakan karena dapat mengurangi harga terendah dengan harga tertinggi produk.

Menurut catatan, industri hasil tembakau (IHT) menjadi salah satu sektor manufaktur nasional yang strategis dan memiliki keterkaitan luas mulai dari hulu hingga hilir. Selain itu, berkontribusi besar dan berdampak luas terhadap aspek sosial, ekonomi, maupun pembangunan bangsa Indonesia selama ini.

Kementerian Perindustrian mencatat total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang, terdiri atas 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.

Baca juga: Kemenperin usulkan Sistem Resi Gudang guna dongkrak tembakau lokal
Baca juga: Gaprindo: Industri rokok terdampak seruan larangan Gubernur Anies
Baca juga: Wamendes PDTT pantau pembelian tembakau petani oleh pabrik rokok

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021