“Selama tidak ada keterangan dari medis profesional yang menyatakan bahwa seseorang mengidap gangguan jiwa, ia masih berhak untuk terdaftar sebagai pemilih,” kata Maharddika ketika menyampaikan hasil riset bertajuk “Gangguan terhadap Hak Memilih: Fenomena dan Upaya Penanggulangan” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Perludem, Kamis.
Dhika, sapaan akrab dari Mahardikka, mengatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyiapkan instrumen teknis terkait keterangan dari tenaga medis profesional mengenai kondisi ODGJ.
Akan tetapi, kata dia, masih ditemui penafsiran berbeda dari ketentuan tersebut.
Baca juga: Perludem: Perlu protokol khusus penanganan disinformasi pemilu
Orang dengan gangguan jiwa, kata Dhika, sering memperoleh citra negatif yang mengakibatkan masyarakat mempertanyakan eligibilitas ODGJ dalam memberikan suara.
Terdapat berbagai narasi dalam kampanye partai yang menyerang hak pilih milik kaum disabilitas mental. Narasi-narasi tersebut, kata Dhika, mengintimidasi dan mengusik ODGJ untuk menggunakan hak pilihnya.
“Pengusikan hak memilih orang dengan gangguan jiwa menjadi highlight di dalam riset kami. Ada upaya penyalahgunaan wewenang untuk mempertanyakan eligibilitas seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih,” tutur dia.
Regulasi yang menyebutkan syarat “tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya” sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi, ujarnya.
Baca juga: Pengamat: Penyederhanaan surat suara tak terlalu fundamental
“Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan ini bertentangan dengan UUD, sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatan tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan, menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilu,” ucap Dhika menjelaskan.
Hak untuk memilih bagi ODGJ telah dijamin dalam UUD 1945, UU HAM, UU Kesehatan, dan UU Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, ujar dia.
Oleh karena itu, frasa “tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya” yang menjadi syarat untuk terdaftar sebagai pemilih dianggap sebagai bentuk diskriminasi dalam regulasi dan merupakan pengusikan hak memilih, paparnya.
“Mempertanyakan eligibilitas ODGJ berdampak pada stigma dan perundungan yang meluas di kalangan masyarakat,” kata Dhika.
Baca juga: Hamdan Zoelva: Calon pemilih masuk TPS harus sudah divaksin
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021