"Dan penyebutan mega besar itu karena berdasarkan pengalaman kami, dan kami dapat menyimpulkan bahwa ini yang terbesar," kata Direktur Tindak Pidana Narkoba (Dirtipidnarkoba) Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno H Siregar saat konferensi pers pengungkapan kasus tersebut di Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, kasus obat keras dan berbahaya yang diproduksi di pabrik wilayah DIY tersebut disebut terbesar karena kapasitas produksi yang besar dan jaringan peredarannya hingga ke seluruh Indonesia, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, DIY, Jawa Timur, Kalimantan Selatan.
Baca juga: Kabareskrim: Pabrik obat keras ilegal di DIY beromzet Rp2 miliar/hari
Hal itu, karena dari 13 tersangka yang ditangkap, polisi menyita barang bukti lebih dari lima juta butir pil golongan obat keras jenis Hexymer, Trihex, DMP, Tramadol, double L, Aprazolam dari berbagai TKP penangkapan tersangka yaitu di Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi dan Jakarta Timur.
"Sebelumnya kami juga pernah temukan, tapi pengalaman kami ini yang paling besar, dari mesinnya maupun luas tempatnya, dan kelengkapan," kata Krisno.
Meski demikian, kata dia, untuk keterlibatan warga negara asing dalam kasus produksi obat keras dan berbahaya ini sejauh ini pihaknya belum dapat menyimpulkan, meski bahan baku pembuatan obat ada yang berasal dari luar negeri.
"Keterlibatan dengan orang asing sejauh ini belum ada, memang bahan-bahan kimia ini produsennya berasal dari negara tertentu, dari luar negeri. Tim lapor kami kemarin sudah datang untuk olah TKP, tentunya kami tidak bisa simpulkan begitu cepat sampai ada bukti," katanya.
Baca juga: Kabareskrim: Tersangka kasus peredaran obat keras akan bertambah
Sementara itu, Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Yogyakarta Dewi Prawitasari mengatakan, bahwa industri pembuatan obat keras di Yogyakarta yang diungkap polisi ini tidak hanya besar, tetapi besar sekali, karena produksinya yang luar biasa.
"Jumlahnya yang begitu besar, kemudian dari bahan baku maupun mesin-mesin yang digunakan untuk produksi," katanya.
Dia mengatakan, bahkan ada salah satu pil yang sudah dilarang diproduksi dan nomor izin edar sudah tidak diperpanjang lagi oleh pemerintah, karena kecenderungan untuk disalahgunakan lebih mudah.
"Jadi produk ini sebenarnya memang masih kita temukan di peredaran, dan di mana-mana ditemukan yang ilegal, artinya produsennya ilegal, dan tempat produksi juga ilegal," katanya.
Baca juga: Kabareskrim datangi pabrik obat di Cianjur pastikan pendistribusian
Pewarta: Hery Sidik
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021