"Untuk KPPPA, segera hadirkan kebijakan nasional tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Perkosaan Terhadap Perempuan agar lembaga gakkum dan lembaga layanan pemulihan dapat lebih optimal dalam kerja sama dan berkoordinasi membantu korban perkosaan," kata Anggota Komnas Perempuan Retty Ratnawati dalam webinar bertajuk "Membangun Layanan Kesehatan Reproduksi Menyeluruh Bagi Perempuan Korban Perkosaan Sesuai dengan CEDAW dan Undang Undang Kesehatan" yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Selain itu masyarakat luas diminta mengawal dan memastikan kebijakan dan akses layanan aborsi aman bagi korban perkosaan segera terwujud.
Baca juga: Komnas Perempuan: Kekerasan perempuan melonjak selama pandemi
Menurut Retty, sebagian masyarakat masih memandang negatif terhadap perempuan korban perkosaan. "Masyarakat melihatnya orang itu diperkosa dan semua stigma yang menyalahkan dia apalagi kalau dia hamil," katanya.
Kemudian perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi juga akan mengalami tekanan mental yang berat.
"Mereka akan cenderung mendapat kriminalisasi akibat dari larangan melakukan aborsi secara UU dalam KUHP," katanya.
Selain stigma dari masyarakat, korban juga harus mengalami pengalaman traumatik dengan melakukan aborsi dan kehilangan bayinya. Tak hanya itu mereka juga berpotensi mengalami komplikasi akibat obat-obatan dari pelaksanaan aborsi tidak aman.
"Bagi mereka sebagai korban perkosaan ini adalah sesuatu yang sangat berat," katanya.
Para korban ini membutuhkan upaya pemulihan yang berkelanjutan sehingga mereka pelan-pelan mampu memulihkan mental dari kekerasan yang terjadi padanya.
Baca juga: Komnas Perempuan: Pencabutan laporan jadi hambatan terbesar UU PKDRT
Baca juga: Komnas Perempuan: Terdapat 36.356 kasus KDRT selama 5 tahun terakhir
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021