Harapan itu disampaikan Dwikorita saat gelaran “16th Annual Indonesia – U.S. BMKG - National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Partnership Workshop.”
“Salah satu prioritas kami yaitu menjadikan BMKG sebagai organisasi kelas dunia,” kata Dwikorita dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca juga: BMKG segera luncurkan informasi gempa berbasis frekuensi radio
Melalui kerja sama tersebut, Dwikorita ingin BMKG bisa sejajar dengan pusat iklim global lainnya. Dwikorita mengatakan, harapan ini muncul karena Indonesia berada di “kolam hangat” Samudra Hindia dan Pasifik Barat. Dengan posisi ini, Indonesia memainkan peran penting dalam pemantauan cuaca dan iklim global.
“Sebagai negara kepulauan, persebaran daratan-laut dan topografi yang kompleks membuat prediksi bencana menjadi tantangan bagi Indonesia,” ucap dia.
Dwikorita mengatakan, prediksi cuaca ekstrem dengan siklus diurnal, sistem cuaca sinoptik, Osilasi Madden-Julian (MJO), El Nino, dan monsun memberi manfaat bagi kesejahteraan sosial ekonomi Indonesia.
Selain cuaca ekstrem, lanjut dia, Indonesia juga merupakan kawasan rawan gempa. Posisi Indonesia di perbatasan tiga lempeng tektonik utama dunia, diantaranya, India-Australia, Eurasia, dan Pasifik. “Oleh karena itu, negara kita juga sangat rawan terhadap kejadian tsunami,” ucap dia.
Dwikorita berharap, sebagai bagian dari komunitas cuaca dan iklim global, BMKG memiliki sejarah panjang dalam berkontribusi pada program terkoordinasi di seluruh dunia. "Kolaborasi dengan NOAA adalah salah satu cara, kami memainkan peran ini,” ujar dia.
Baca juga: Tingkatkan keselamatan, BMKG dorong nelayan manfaatkan InfoBMKG
Dwikorita menyebut, bahwa BMKG selalu berusaha untuk melibatkan diri dalam berbagai proyek ini sebagai komitmen untuk memajukan pengetahuan di iklim tropis. Ina-Prima, salah satu agenda kemitraan BMKG-NOAA, merupakan salah satu cara BMKG menunjukkan komitmennya terhadap komunitas cuaca dan iklim global. Dia sangat mengapresiasi kepada NOAA atas dedikasinya dalam program kerja sama tersebut
Pada loka karya tahun ini, tema Sub-seasonal to Seasonal Forecast: Detecting Extreme Weather Events at Climate Scale menjadi sorotan penting. Tema ini ingin menegaskan semangat BMKG dalam mengabdi kepada negara dan mendukung program pemerintah untuk kesejahteraan bangsa.
Informasi skala waktu sub-musim hingga musiman sangat dibutuhkan di berbagai sektor, terutama pengurangan risiko bencana hidrometeorologi terkait dengan kejadian cuaca ekstrem, pertanian, energi, ketahanan pangan, dll. Akurasi prakiraan cuaca sangat penting untuk memastikan kebijakan pemerintah terkait sektor pertanian, energi, ketahanan pangan, dan lain-lain dapat dirancang dengan baik.
“Tujuan lokakarya ini antara lain untuk mendemonstrasikan peran penting Observasi Samudera Hindia, seperti Indonesia PRIMA, Years of the Maritime Continent (YMC) dan Indonesian Trough Flow (ITF) dalam upaya memahami sepenuhnya interaksi atmosfer darat-laut di Benua Maritim juga mengembangkan kapasitas manusia dan pengetahuan praktis sebagai bagian dari pengembangan Weather Marine Information (Sistem Informasi Cuaca Laut) dan Climate Early Warning System (Sistem Peringatan Dini Iklim)” ujar dia.
Baca juga: BMKG lakukan inovasi dukung Indonesia jadi poros maritim dunia
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan terima kasih kepada NOAA karena turut membatu penanganan isu COVID-19.
Selain menggunakan data dari Facebook, Google, dan NASA, Luhut mengatakan menggunakan data NOAA untuk membuat strategi penanganan kebijakan Covid-19.
“Atas kesempatan ini, pemerintah Indonesia berterimakasih kepada NOAA, tidak hanya perubahan iklim, NOAA juga membantu penanganan COVID-19,” ucap Luhut, sebagai keynote speaker.
Luhut mengatakan bahwa pada perayaan Hari Maritim Nasional 23 September, Presiden Joko Widodo mengingatkan untuk melanjutkan restorasi dan penguatan identitas sebagai negara maritim. Tidak hanya jargon tapi juga kerja nyata. Dia juga menyebut, Jokowi mengingatkan mengenai konektivitas dan keamanan maritim untuk meningkatkan pendapatan nasional.
“Pemberdayaan kekuatan maritim menjadi kunci pertumbuhan nasional,” ucap dia.
Luhut mengatakan sebagai negara maritim, Indonesia menghadapi tantangan perubahan iklim dan cuaca. Selain itu, Indonesia juga berhadapan dengan bencana gempa bumi dan tsunami.
Untuk itu, kata dia, pemahaman fundamental atas sains dan teknologi terapan melalui kerja sama global diharapkan dapat berbasis karakteristik yang kompleks atas Indonesia.
“Saya mendukung penuh kerja sama BMKG dan NOAA untuk penyediaan informasi tentang tsunami, cuaca, dan iklim. Indonesia bisa menjadi laboratorium dari persoalan ini,” ucap dia.
Luhut mengatakan kerja sama BMKG dan NOAA bisa menghasilkan beberapa hasil misalnya penelitian mengenai sistem perubahan iklim, sistem kondisi udara dan laut, cuaca ekstrem, dan ketersediaan air. “Secara umum sistem itu bisa berdampak pada pertanian masyarakat, industri perikanan, dan kesehatan,” kata dia.
Dia juga menekankan kerja sama jangka panjang berupa kemampuan sumber daya manusia dalam penelitian, sebagai bagian dari komunitas cuaca dan iklim dan berkontribusi koordinasi global.
Baca juga: BMKG-Kemenparekraf kerja sama pemulihan pariwisata dan ekonomi kreatif
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021