• Beranda
  • Berita
  • Indef: Tinjau ulang kebijakan DKI terkait peredaran produk IHT

Indef: Tinjau ulang kebijakan DKI terkait peredaran produk IHT

7 Oktober 2021 14:52 WIB
Indef: Tinjau ulang kebijakan DKI terkait peredaran produk IHT
Seorang petani menjemur tembakau di daerah Bulu, Kabupaten Temanggung. (ANTARA/Heru Suyitno)

Langkah Pemprov DKI tersebut seharusnya ditinjau secara matang, mempertimbangkan efek domino yang menjadi dampaknya

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait peredaran produk industri hasil tembakau (IHT) perlu ditinjau ulang sebab memberikan dampak negatif berganda.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esa Suryaningrum mengatakan Seruan Gubernur DKI Jakarta No. 8/2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Merokok diyakini memberikan efek domino dan diskriminatif.

"Tidak hanya berdampak bagi pekerja sektor Industri Hasil Tembakau (IHT) dan peritel, tetapi juga menambah beban ekonomi masyarakat yang bergantung pada industri tembakau di tengah pandemi COVID-19," katanya.

Seruan yang dikeluarkan oleh Gubernur Anies Baswedan tersebut, lanjutnya, dinilai semakin menekan dan memperburuk tantangan yang sudah dirasakan seluruh rantai industri ritel di hilir, selain itu akan berdampak kepada jutaan petani tembakau dan cengkeh di hulu.

"Langkah Pemprov DKI tersebut seharusnya ditinjau secara matang, mempertimbangkan efek domino yang menjadi dampaknya," ujarnya melalui keterangan tertulis.

Dikatakannya, seruan yang mengetatkan peredaran produk IHT di tengah tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan melemahnya permintaan pasar seperti ini akan memunculkan dampak sistemik.

Menurut Esa, seharusnya kebijakan terkait industri yang signifikan seperti sektor IHT dilakukan secara hati-hati dan selaras.

Kebijakan yang tidak hati-hati seperti Sergub DKI No. 8/2021 diyakini bisa mengancam mata pencaharian jutaan tenaga kerja di dalam mata rantai IHT dan ritel, lanjutnya, padahal sektor ini tengah menghadapi imbas dari berkurangnya jam operasional baik di tempat usaha maupun pabrik.

"Jadi, pemerintah perlu memikirkan dampak ekonominya. Dampaknya tidak hanya kepada industrinya saja, tapi juga kepada banyak pihak yang bergantung pada industri rokok, termasuk petani tembakau," ujar Esa.

Menurut dia, kalau pemerintah ingin mengurangi jumlah perokok, cara yang paling efektif adalah dengan komunikasi publik, bukan dengan menurunkan baliho rokok.

Senada dengan itu, Ketua Departemen Minimarket Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Gunawan Baskoro mengatakan seruan gubernur DKI akan makin menekan kinerja ritel secara keseluruhan.

Dikatakannya, ritel di segmen toko swalayan, kelontong, supermarket, dan department store sudah banyak yang berguguran sepanjang pandemi, tidak kurang dari 1.500 gerai yang sudah tutup permanen sepanjang dua tahun terakhir.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengungkapkan kehadiran Sergub DKI No. 8/2021 seolah kebijakan pemerintah daerah memusuhi industri tembakau.

Menurut dia, saat ini tercatat ada sekitar 300 peraturan daerah (perda) senafas yang seakan membidik produk IHT sebagai sasaran.

Munculnya kebijakan seperti Sergub DKI No. 8/2021, tegas Soeseno mencerminkan bahwa pembuat kebijakan semakin menyudutkan produk rokok dan kegiatan merokok yang sejatinya legal, kebijakan tersebut sangat diskriminatif.

Baca juga: Industri hasil tembakau butuh inovasi berbasis kajian ilmiah
Baca juga: Kemenperin berupaya optimalkan penyerapan tembakau lokal
Baca juga: Menperin diminta bantu atasi lesunya permintaan tembakau oleh industri

 

Pewarta: Subagyo
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021