"Salah satu tujuan utama kenapa UU HPP itu kemudian muncul karena berdasarkan fakta rendahnya tax ratio Indonesia, serta reformasi perpajakan kita sebenarnya sudah dilakukan sebelum UU HPP ini dikeluarkan," ucap Yusuf kepada Antara di Jakarta, Senin.
Menurut dia, beberapa poin dalam UU HPP memang menyasar langsung kepada upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek sampai dengan panjang.
Dalam hal tarif Pajak Penghasilan (PPh) misalnya, pemerintah menaikkan tarif PPh 21 untuk kelompok penghasilan di atas Rp5 miliar, sekaligus menambah lapisan dalam PPh.
Baca juga: Kemenkeu nilai UU HPP berpotensi tekan defisit 2022
Jika mengukur dari laporan yang menyebutkan bahwa jumlah orang kaya Indonesia meningkat selama pandemi, Yusuf menilai kenaikan tarif atas PPh menjadi potensi untuk mengumpulkan pundi penerimaan negara, serta yang tidak kalah penting menjalankan peran pajak sebagai alat distribusi pendapatan kepada kelompok yang membutuhkan.
Untuk meningkatkan kepatuhan, UU HPP juga mengakomodir pada pasal 13, dimana dikatakan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan.
"Hal ini ditambah beberapa ayat setelahnya yang menyebutkan ketentuan denda, beberapa poin ini saya pikir sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan dari wajib pajak dalam jangka panjang," katanya.
Meski demikian, Yusuf berpendapat ada beberapa poin dalam UU HPP yang perlu diterapkan secara hati-hati terutama misalnya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena jika ada efek inflatoar yang dirasakan masyarakat, maka pemerintah sudah harus siap dalam langkah mitigasi.
Baca juga: Stafsus Menkeu: UU HPP mengakomodir perpajakan di era digital
Baca juga: Kemenkeu: UU HPP pijakan reformasi fiskal menuju Indonesia maju
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2021