Anggota bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, mengatakan masa tunggu hukuman mati yang terlalu lama bagi terdakwa adalah persoalan serius untuk dituntaskan dalam konteks hak asasi manusia.
Menurut dia dalam webinar “Masa Tunggu Hukuman Mati: Menunggu Grasi atau Eksekusi”, Jakarta, Selasa, lamanya masa tunggu terdakwa hukuman mati adalah bagian dari praktik yang melanggar konvensi anti-penyiksaan, terlebih ketika terminologinya diperluas ke ranah psikologi karena masa tunggu hukuman mati yang lama ini dapat berdampak menyerang psikologi para terdakwa.
Baca juga: Kemenkumham: RKUHP masih atur pidana ancaman hukuman mati
Ia juga membagikan hasil riset Komnas HAM pada 2019 yang menunjukkan banyaknya terdakwa hukuman mati masih menunggu masa eksekusinya, bahkan di atas 20 tahun.
“Yang menunggu masa eksekusi mati di atas 20 tahun angkanya 5 orang,” kata dia.
Selain itu, tercatat sejumlah 25 orang telah menantikan eksekusi mati lebih dari 15 sampai 20 tahun di penjara. Ada 38 orang terdakwa menunggu selama lebih dari 10 hingga 15 tahun. Kemudian untuk masa tunggu di atas lima hingga 10 tahun, ada 88 orang.
Baca juga: Pengadilan Negeri Idi Aceh memvonis mati empat terdakwa narkoba
Oleh karena itu, dalam webinar yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat untuk menyoroti ketidakpastian hukum seorang terdakwa di antara menunggu eksekusi mati atau diberi grasi, dia mengatakan, Komnas HAM secara tegas menolak hukuman mati. Mereka juga menilai tindakan itu tidak dapat diterapkan di Indonesia.
Menurut dia, ada beberapa langkah yang lebih penting untuk dilakukan terkait penghukuman.
Baca juga: LSM desak hukuman berat bagi pelaku pembantaian gajah di Aceh
Misalnya, dalam konteks kasus penyalahgunaan narkotika sebagai ranah yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati, dia berpendapat, langkah hukum seperti membongkar jaringan dan merampas semua harta benda terdakwa lebih penting untuk dilakukan.
Sementara terkait penindakan kasus korupsi, dimintainya pertanggungjawaban terdakwa, transparansi penyelesaian perkara, bahkan perbaikan tata kelola negara lebih bermanfaat untuk dilakukan daripada hukuman mati.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021