Jeratan rentenir daring

19 Oktober 2021 23:41 WIB
Jeratan rentenir daring
Penyidik Polda Metro Jaya menggerebek kantor pinjaman daring atau pinjaman online (pinjol) ilegal yang berlokasi di Ruko Crown, Green Lake, Jakarta Barat, Kamis (14/10). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

Alasan utama mengapa warga masyarakat mau berhubungan dengan rentenir tersebut adalah karena terpaksa

Kepolisian Republik Indonesia secara terstruktur, sistematis, dan masif mulai memberantas mafia jaringan pinjaman daring atau dikenal juga sebagai pinjaman "online" (pinjol) ke berbagai tempat mengingat sepak terjangnya sudah meresahkan.

Sejalan dengan instruksi Presiden Joko Widodo kepada Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo beserta jajaran agar mengambil sikap tegas di lapangan untuk mengusut kasus pinjol  hingga tuntas, serta memproses hukum terhadap pelaku yang dinilai merugikan masyarakat.

Sudah banyak masyarakat menjadi korban atas modus pinjol ini. Masyarakat tentu berharap Polri segera memberantas mafia pinjaman daring sampai ke pimpinannya atau pemilik usaha.

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jember Hardi Rofiq menceritakan kalau dirinya telah mencoba menjajal sendiri bagaimana praktik bisnis yang dilakukan oleh jasa pinjaman daring di daerah atau di wilayah kerjanya.

Baca juga: Polrestro Jakbar tangani dua laporan kasus pinjol yang resahkan warga

"Bagaimana sadis dan tidak manusiawinya praktik pinjol ini, bak drakula. Jika orang meminjam Rp1 juta maka yang bersangkutan hanya menerima sekitar Rp700 ribu karena telah dipotong terlebih dahulu sekitar 30 persen dan si peminjam harus membayar Rp56 ribu per hari," tutur Hardi.

Tak hanya itu, debitur saat menerima kredit juga tidak mendapat kejelasan mengenai tempo atau jangka waktu peminjamannya.

Praktik peminjaman dengan hitung-hitungan serupa juga banyak terjadi di daerah lain, baik secara daring maupun cara lainnya.

Anwar Abbas, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia mengatakan aksi ini mengingatkannya dengan praktik pinjam empat dibayar enam. Jadi kalau ada orang yang meminjam Rp400 ribu, maka mereka harus dibayar dengan Rp600 ribu dalam masa 10 pekan.

Ini berarti pihak si peminjam (rentenir) telah membebankan bunga kepada yang bersangkutan sekitar 50 persen untuk waktu 10 minggu atau 70 hari.

Baca juga: Pinjol ilegal di Cengkareng jerat 5.700 nasabah dari media sosial

Jadi kalau pinjaman ini rentang untuk masa satu tahun, berarti tingkat suku bunga pinjamannya
adalah sekitar 250 persen setahun.

Alasan utama mengapa warga masyarakat mau berhubungan dengan rentenir tersebut adalah karena terpaksa sebab tidak ada lembaga keuangan baik bank atau non bank serta sanak saudara dan handai taulan yang mau meminjamkan uang tunai karena mereka tidak punya jaminan atau "collateral".

Pihak rentenir dalam memberi kredit tidak mensyaratkan agunan dan prosesnya juga sangat cepat. Begitu yang bersangkutan mengajukan pinjaman, ketika itu juga uang tersebut diberikan.

Apabila tenggat waktu pembayaran terlewati maka si rentenir tidak marah-marah, cuma mereka akan mengenakan denda kepada peminjam.

Apabila utang  semakin membesar barulah rentenir tersebut menyita satu persatu aset debitur. Dan di situlah isak tangis mulai terjadi. Keadaan seperti ini  mirip dengan kasus pinjaman daring yang terjadi akhir-akhir ini.
Unit Kriminal Khusus Satreskrim Polres Metro Jakarta Pusat melakukan penggerebekan kantor sindikat pinjol di Kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, pada Rabu (13/19/2021). ANTARA/HO Polres Metro Jakarta Pusat


Sebar ancaman
Karyawan kantor di area Ruko Gading Bukit Indah, Jalan Raya Gading Kirana, Kelurahan Kelapa Gading Barat sekitar pukul 19.30 WIB gelagapan saat polisi menggerebek ruang kerja mereka.

Penggerebekan dilakukan karena adanya laporan masyarakat kepada polisi adanya perusahaan yang berbisnis pinjaman dalam jaringan (daring) karena praktik penagihan utang yang dilakukan  perusahaan itu sudah meresahkan masyarakat.

Benar saja, petugas kepolisian berhasil memergoki kelakuan perusahaan teknologi finansial berinisial PT AIC di Kelapa Gading, Jakarta Utara (Jakut) yang mengunggah foto asusila untuk menagih utang kepada debiturnya.

PT AIC diketahui menjalankan empat aplikasi pinjaman daring yang semuanya tidak berizin alias ilegal. Delapan ribu debitur sudah menjadi pelanggan mereka sejak perusahaan beroperasi tahun 2018.

Baca juga: Enam orang ditetapkan sebagai tersangka kasus pinjol Cengkareng

Pantauan ANTARA, ada tiga lantai ruko yang beroperasi. Lantai pertama berfungsi sebagai lobi yang dari luar tampak tertutup, lantai dua berfungsi sebagai tempat penagihan secara halus dan tempat pengingat (reminder) tenggat waktu peminjaman.

Sedangkan tempat yang digunakan untuk penagihan dengan cara-cara kekerasan, pengancaman, dan pornografi itu ada di lantai tiga.

Area kantor lantai dua tampak meja berderet berisi puluhan komputer yang tampak menyala, di layarnya terlihat daftar nomor WhatsApp korban beserta status pelunasan dan tenggat waktu pelunasan.

Sementara di lantai tiga juga ada meja-meja berderet dan komputer yang menyala, namun tampak layarnya menampilkan halaman berbeda yakni foto-foto asusila milik korban yang diduga hasil olahan (editing) dan peminjam dengan status pembayaran tertunda.

Di lantai inilah, empat orang yang bekerja dan saat ini sedang dimintai keterangannya lebih lanjut oleh polisi karena terbukti menebar ancaman kepada debitur yang menunggak pembayaran utang.

Salah seorang karyawan berinisial S yang bekerja di bagian penagihan mengaku terpaksa melakukan segala cara, termasuk melakukan teknik olah foto untuk mengejar target dari bos perusahaan yang saat ini masih dalam pengejaran.

Petugas kemudian menyegel kantor tersebut dan memasang garis polisi. Keempat karyawan perusahaan pinjaman daring tersebut juga kemudian dibawa ke Polda Metro Jaya untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Keterangan awal dari empat karyawan tersebut, PT AIC memiliki 78 pegawai yang semuanya akan dilakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan.

Namun  tak semua fintech ilegal  terpergok  polisi karena sebagian masih menerapkan bekerja dari rumah (work from home/ wfh).
 
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Metro Jaya Kombes Pol Auliansyah Lubis (kedua kanan) menginterogasi pegawai PT Ant Information Consulting (AIC) saat penggerebekan kantor pinjaman online ilegal di Kelapa Gading, Jakarta, Senin (18/10/2021). Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menggerebek tempat usaha pinjaman online ilegal yaitu PT Ant Information Consulting (AIC) yang kerap mengancam nasabahnya saat menagih utang. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pras.
Pinjaman meningkat
Peminjaman uang secara daring ini kian meningkat di masa pandemi COVID-19 seiring dengan dengan  sulitnya pelaku usaha terutama UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mendapatkan fasilitas kredit.

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatat pelaku UMKM mendominasi peminjam (borrower) di fintech lending atau disebut juga fintech peer to peer atau Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) .

Dominasi UMKM ini memberikan dua gambaran bertolak belakang.  Positifnya, industri fintech ikut berperan penting menggerakkan ekonomi nasional dan menjadi jawaban pembiayaan digital di saat pandemi. Sedangkan negatifnya, fenomena ini menunjukkan kondisi keuangan masyarakat yang masih dalam kondisi penuh ketidakpastian.

Berdasarkan data survei Asian Development Bank (ADB) pada 2020 terkait dampak pandemi terhadap UMKM di Indonesia, sebanyak 88 persen UMKM kehabisan kas atau tabungan, dan lebih dari 60 persen UMKM ini  mengurangi tenaga kerjanya.

Baca juga: Polisi buru WNA diduga pemilik sindikat pinjol Cengkareng

Padahal sektor UMKM adalah penyangga utama perekonomian Indonesia dengan kontribusi sebesar 57 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menyerap 97 persen tenaga kerja di Tanah Air.

Oleh karena itu, jangan sampai tergiur tawaran fintech ini, karena awalnya mereka menawarkan pinjaman yang kelihatannya murah padahal itu merupakan perangkap.

Selain itu sebagai perusahaan teknologi finansial, peningkatan kapabilitas juga diperlukan guna menjaga kepercayaan nasabah dengan selalu menjaga kerahasiaan data pribadi dan mengutamakan debitur yang betul-betul memiliki kemampuan bayar.

Jangan baru belakangan risiko gagal bayar ditemukan, lalu etika pun dikesampingkan saat penagihan.

Proses otomatisasi didasarkan pada kemampuan analisa "big data" dan pemanfaatan "machine learning", sehingga dari sisi nasabah, pengguna akan memperoleh keputusan pinjaman secara lebih cepat. Sedangkan dari sisi perusahaan peningkatan kapabilitas ini akan membuat proses penilaian risiko kredit juga  lebih akurat.

Baca juga: Polda Metro amankan 4 karyawan pinjaman daring di Jakut

Selain itu kepada masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan Regional I DKI Jakarta dan Banten membagikan tips agar terhindar dari penawaran pinjaman daring ilegal.

Pertama, jangan tergoda dengan tawaran pinjaman daring ilegal dan perlu mencermati apabila tidak ada syarat agunan.

Kedua, jangan mengklik tautan berisi penawaran pinjaman daring bodong yang diterima melalui pesan singkat (SMS) atau pesan berbasis aplikasi WhatsApp.

Segera langsung hapus atau blokir dan paling penting cek legalitas perusahaan, apakah ilegal atau legal dengan menghubungi kontak OJK pada nomor 157 atau melalui pesan WhatsApp 081-157157157 atau melalui surat elektronik di konsumen@ojk.go.id.

Ciri-ciri pinjaman daring ilegal yang perlu diwaspadai di antaranya bunga denda tinggi yakni 1-4 persen per hari.

Kemudian biaya tambahan cukup banyak biasanya sampai 40 persen dari nilai pinjaman.

Tak hanya itu, jangka waktu pelunasan terbilang singkat dan tidak sesuai kesepakatan serta tidak memiliki alamat kantor yang jelas dan pengaduan konsumen.

Kadang muncul permintaan akses data pribadi seperti kontak, foto, video, lokasi dan jumlah data pribadi lain digunakan untuk melakukan teror kepada peminjam yang gagal bayar, penagihannya tak beretika, seperti meneror, intimidasi dan pelecehan.
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri ekspose pengungkapan kasus jaringan pinjaman online ilegal di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (15/10/2021). (ANTARA/Laily Rahmawaty)

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021