Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang mengkritik Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil atas carut-marut konflik pertanahan antara masyarakat dengan para pengusaha.Carut-marut pertanahan di Indonesia semakin menggurita terbukti dari konflik-konflik yang terjadi di masyarakat.
Junimart dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis, mengatakan konflik tersebut terjadi dikarenakan izin Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) kepada para pengusaha oleh Kementerian ATR/BPN yang kerap kali mengesampingkan hak hukum atas tanah masyarakat.
"Carut-marut pertanahan di Indonesia semakin menggurita terbukti dari konflik-konflik yang terjadi di masyarakat menyangkut pemberian HGU, HGB, dan izin lainnya kepada para pengusaha di beberapa daerah menimbulkan keresahan di masyarakat, karena seringkali dari hak atas tanah yang diberikan itu masyarakat justru menjadi kehilangan tanah," katanya.
Ditambah lagi, kata dia, realita kian maraknya aksi mafia tanah di Indonesia yang justru melibatkan para oknum dari Kementerian ATR/BPN secara bersama-sama dengan para mafia tanah. Hal itu, kata Junimart, hasil dari aksi pembiaran yang selama ini dilakukan oleh Sofyan Djalil kepada para bawahannya.
"Belum lagi, makin maraknya mafia-mafia tanah yang melibatkan internal dari Kementerian ATR/BPN itu sendiri. Permafiaan ini diamini oleh Sofyan Djalil dan memang ada yang dilakukan secara sistemik dan terstruktur. Menurut saya, ini adalah buah dari pola pembiaran yang selama ini dilakukan oleh Menteri Sofyan Djalil," ujarnya pula.
Ketua Panja Mafia Tanah Komisi II DPR itu, juga mengungkapkan setidaknya terdapat sebanyak lima poin yang menjadi catatan buruk Kementerian ATR/BPN di bawah kepemimpinan Sofyan Djalil.
Pertama, penyebab sertifikasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) bermasalah, karena pengukuran melibatkan pihak ketiga dalam hal ini surveyor yang ditunjuk lewat lelang pekerjaan oleh BPN Pusat.
"Di mana validitas pengukurannya menurut saya semi ilegal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, karena dilakukan oleh pihak ketiga yang mana kontrol kualitas pekerjaan pihak ketiga tidak mempunyai kekuatan hukum (recht kadaster). Bahkan, ada oknum pengukuran yang melakukan pengukuran tanah cukup di atas meja seperti potong tahu," ujar Junimart.
Selain itu, dalam catatan kedua, kata Junimart lagi, seleksi pejabat eselon III dan II di lingkungan Kementerian ATR/BPN selama ini berlangsung sangat diskriminatif cenderung korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di mana banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memenuhi syarat tidak bisa menduduki jabatan strategis, bahkan sebaliknya.
"Sistem pemilihan seperti ini menyuburkan mafia tanah, karena sebagai akibatnya para kepala kantor di tingkat daerah kabupaten/kota dan kepala kantor wilayah di tingkat provinsi pada akhirnya tidak berani menindak para mafia tanah di daerah masing-masing sebagaimana yang diinginkan Presiden Jokowi. Dengan alasan memilih aman demi jabatan mereka, sebaliknya para kepala kantor yang ingin menumpas mafia tanah malah tidak diizinkan," kata Junimart.
Ketiga, keberadaan Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra selama ini dinilai kurang bekerja menjalankan "land reform" dan penanganan konflik agraria. Hal tersebut dikatakannya sebagai salah satu penyebab selama satu tahun terakhir pengukuran ulang terhadap konflik HGU tidak pernah bisa terealisasi.
"Keempat, maraknya buku tanah atau warkah pendaftaran tanah yang hilang. padahal warkah itu kumpulan berkas penerbitan sertifikat tanah yang disimpan oleh BPN. Ketika barang berharga itu hilang, akibatnya kepastian sertifikat tidak terpenuhi dan ironisnya lagi banyak sertifikat tanah terbit yang lokasinya tidak bisa ditemukan," ujarnya.
Sedangkan catatan kelima, Kementerian ATR/BPN dianggap lebih memprioritaskan program pemberian sertifikat tanah gratis atau PTSL yang tidak sesuai sasaran dibandingkan dengan pemberian sertifikat tanah redistribusi kepada para petani penggarap atas lahan yang dibagikan oleh negara sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.
"Sertifikasi redistribusi terhambat, karena Kementerian ATR/BPN lebih memprioritaskan PTSL dari pada redistribusi," ujar Junimart.
Oleh karena itu, ia menyakini Kementerian ATR/BPN di bawah kepemimpinan Sofyan Djalil dalam menjalankan program pertanahan Presiden Jokowi, di antaranya pemberian sertifikat tanah gratis atau PTSL, redistribusi, dan reforma agraria hanya sebatas euforia semata dan jauh dari target.
"Saya meyakini Presiden Jokowi tidak mengetahui fakta-fakta permasalahan pertanahan yang terjadi ini di masyarakat. PTSL, redistribusi, reforma agraria hanya sebatas euforia, jauh dari target yang dicanangkan oleh Presiden bahwa tanah harus prorakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945. Ditambah lagi keluhan masyarakat tentang sistem pelayanan badan pertanahan untuk pengurusan sertifikasi SOP-nya yang tidak berjalan," kata dia pula.
Junimart pun menyarankan agar Sofyan Djalil mengundurkan diri dari jabatannya di Kabinet Indonesia Maju jika tidak mampu menyelesaikan carut-marut pertanahan tersebut.
"Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil seharusnya sebagai seorang sosok pemimpin/akademisi yang mumpuni sebaiknya mengundurkan diri dari kabinet Presiden Jokowi," ujar Junimart.
Baca juga: Kadin berharap DPR terpilih tuntaskan masalah pertanahan
Baca juga: Komisi II DPR RI : RUU Pertanahan dapat selesaikan 9 masalah tanah
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021