Kementerian Perindustrian fokus melakukan hilirisasi industri sawit yang diproyeksi memiliki potensi nilai ekonomi sektoral industri perkelapasawitan dari hulu sampai hilir mencapai Rp750 triliun per tahun, di mana Rp300 triliun disumbang dari devisa ekspor.
“Angka ini belum termasuk multiplier effect dari sektor penunjang jasa industri sampai jasa terkait lainnya yang timbul karena keberadaaan industri perkelapasawitan di seluruh Indonesia,” kata Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika lewat keterangannya di Jakarta, Kamis.
Di masa pandemi, lanjut Putu, produk oleokimia Indonesia juga diminati konsumen global sebagai bahan sanitasi.
Hal ini berdampak pada kinerja ekspor produk personal wash pada periode Januari-Mei 2021 yang tumbuh sebesar 10,47 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Volume ekspor selama lima bulan tahun ini mencapai 1,64 juta ton atau senilai 1,53 miliar dolar AS.
Baca juga: Fokus hilirisasi, pemerintah larang ekspor CPO
“Pencapaian sektor industri hilir ini perlu diapresiasi dengan dua sudut pandang, yaitu ekonomi dan kontribusi pada kemanusiaan global karena produk oleokimia sabun/personal wash digunakan oleh penduduk dunia untuk memutus persebaran virus SARS-COV-2 penyebab COVID-19,” imbuhnya.
Di samping itu, lanjut Putu, sumber bahan baku industri hilir sawit berasal dari perkebunan rakyat, dengan luasan mencapai 44 persen atau 7,17 juta hektare dari total 16,3 juta hektare luas kebun sawit Indonesia.
“Rantai nilai industri kelapa sawit telah tersambung mulai dari kebun, pabrik kelapa sawit, industri hilir hingga konsumen akhir, menjadikan sektor ini berpotensi sebagai penghela pemulihan ekonomi nasional dalam rangka persiapan skenario pascapandemi,” ujar Putu.
Baca juga: Kemenperin fokus hilirisasi industri berbasis SDA
Oleh karena itu, Kemenperin menjadikan industri pengolahan kelapa sawit sebagai salah satu sektor yang mendapat prioritas pengembangan, sehingga perlu dijaga aktivitas produksinya selama masa pandemi.
Melalui penerbitan dan pengawasan Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI), industri hilir kelapa sawit dikategorikan sebagai sektor kritikal yang dapat beroperasi 100% selama masa pandemi dengan kewajiban menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
“Kami juga memfasilitasi melalui pemberian Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sekitar 6 dolar AS per MMBTU sesuai Perpres No. 40/2016. Fasilitas tersebut telah diimplementasikan lebih dari 20 pabrik oleokimia turunan minyak sawit dari 11 perusahaan,” sebut Putu.
Putu menekankan bahwa langkah Kemenperin untuk mengadvokasi penentuan tarif pungutan ekspor kelapa sawit, CPO dan turunannya merupakan strategi yang sangat jitu dalam mendorong hilirisasi industri kelapa sawit.
Sejak 2011, Kemenperin konsisten dalam mengusulkan tarif pungutan ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya secara progresif sesuai rantai nilai industri dan harga CPO internasional sebagai harga referensi bulanan.
“Struktur pentarifan tersebut dinilai lebih pro-industri pengolahan,” tegas Putu. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai Tarif Pungutan Dana Perkebunan, yaitu PMK No. 133/2015 juncto PMK 76/2021 dan PMK tentang Tarif Bea Keluar yaitu PMK No. 128/2011 juncto PMK No. 166/2020.
Melalui dua kebijakan strategis, yaitu Harga Gas Bumi Tertentu untuk sektor industri oleokimia, dan Tarif Pungutan Ekspor progresif, membawa dampak positif pada kurun waktu tahun 2012 – 2014 dan tahun 2017-2020, yakni terjadi pertumbuhan investasi industri hilir pengolahan sawit yang menggembirakan.
“Rencana perluasan investasi industri oleokimia di Kawasan Industri Sei Mangkei menjadi contoh pencapaian hasil kebijakan pro-industri tersebut, demikian juga dengan investasi industri biodiesel di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo,” ungkap Putu.
Kemenperin juga mendukung langkah pemangku kepentingan untuk menjadikan produk hilir kelapa sawit Indonesia berpredikat ramah lingkungan. Industri perkelapasawitan Indonesia diwajibkan mematuhi prinsip ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang mengatur best practice berkelanjutan (sustainable) dan ketertelusuran tinggi (traceable).
Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan citra ramah lingkungan dan lestari berkelanjutan sehingga sejalan dengan tren green products yang disukai oleh konsumen global serta memperkuat akses pasar ekspor produk kelapa sawit Indonesia.
“Kami juga mendorong penggunaan teknologi informasi berbasis ICT dalam kerangka program Making Indonesia 4.0, dalam hal operasional industri di tingkat shop floor dan juga dalam hal ketertelusuran (traceability) produk hilir kelapa sawit sesuai dengan standar sustainable palm oil yang berlaku global,” tutup Putu.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021