• Beranda
  • Berita
  • PSIPP dorong keterlibatan kaum lelaki hapus kekerasan perempuan

PSIPP dorong keterlibatan kaum lelaki hapus kekerasan perempuan

30 Oktober 2021 23:14 WIB
PSIPP dorong keterlibatan kaum lelaki hapus kekerasan perempuan
Paparan dalam acara Rapat Koordinasi Teknis Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, Jakarta, Kamis (23/9/2021). (ANTARA/ Anita Permata Dewi)
Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Jakarta mendorong keterlibatan kaum lelaki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

"Komite CEDAW PBB itu sudah menyerukan pentingnya keterlibatan laki-laki di seluruh dunia untuk pengarusutamaan isu perempuan dan upaya penghapusan diskriminasi, kekerasan berbasis gender dalam segala lini kehidupan termasuk dalam penafsiran agama, budaya, tradisi, politik, dan semua hal,” kata Ketua PSIPP Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD) Jakarta Yulianti Muthmainnah melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Yulianti mengatakan kampanye perlindungan perempuan dan anak sangat erat kaitannya dengan peran lelaki sesuai dengan kesepakatan komite CEDAW PBB sejak 2007.

Baca juga: Kemen PPPA pantau proses penegakan hukum kasus pemerkosaan

Di Indonesia, kata Yulianti, yang menjadi ikon HeForShe Campaign atau kampanye perlindungan perempuan dan anak adalah Presiden RI Joko Widodo. Untuk itu diperlukan kebijakan strategis pemerintah dalam program tersebut.

Yulianti mengatakan Islam sangat menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hal itulah yang dengan tegas disampaikan oleh Suhairi tatkala menelusuri posisi perempuan sebelum Islam datang.

“Pra-Islam itu posisi perempuan itu sangat ironis,” katanya.

Lektor Kepala Bidang Hukum Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Suhairi mengatakan perempuan dan anak korban kekerasan bisa menjadi sebagai mustahik melalui empat alternatif.

“Pertama fakir. Orang yang tidak berharta dan tidak mempunyai pekerjaan atau usaha tetap guna mencukupi kebutuhan hidupnya, sedang orang yang menjamin tidak ada," katanya.

Kedua, miskin. Yaitu, mereka yang masih memiliki pekerjaan, namun hasil dari pekerjaan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta tidak ada yang menjamin atau menanggungnya.

“Ini sangat mungkin dialami dan terjadi pada perempuan, demikian pula mungkin anak yang korban kekerasan itu,” kata Suhairi.

Ketiga, gharim. Yakni, orang yang mempunyai utang yang bukan untuk maksiat dan tidak mampu melunasinya.

“Keempat Ibnu Sabil. Jika ada perempuan dan anak korban kekerasan yang memenuhi kualifikasi empat alternatif sebagai mustahik tadi, maka menurut saya sesuai ajaran agama Islam, perempuan dan anak harus diprioritaskan dan diutamakan dalam penyaluran zakat,” katanya.

Organisasi ataupun lembaga pengelolaan zakat kerap melupakan keberadaan perempuan dan anak korban kekerasan yang memungkinkan mereka menyandang status sebagai mustahik.

“Memang ini ‘terlupakan’ oleh sebagian besar atau mungkin saat ini masih secara keseluruhan tapi selama ini kemudian masih abai, masih diabaikan, masih terabaikan, terlupakan," katanya.

Baca juga: Menteri: Indeks Perlindungan Anak dan IPHA nasional lampaui target
Baca juga: Tindakan asusila terduga Kapolsek Parigi Moutong dikecam Menteri PPPA

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021