Dalam diskusi tersebut, Yukiko menuturkan situasi untuk sineas perempuan di Negeri Sakura yang setelah memiliki anak umumnya merasa cemas memikirkan bagaimana cara melanjutkan pekerjaan mereka.
"Kami berpikir apa yang bisa dilakukan untuk mendukung satu sama lain, terutama sineas muda yang ingin punya anak kelak," kata Yukiko yang memiliki dua anak.
Ada banyak hal yang dipikirkan saat memiliki anak, terutama yang masih belia, seperti mencari taman kanak-kanak, tapi dia tak bisa leluasa bicara kepada produser bahwa dia butuh waktu lebih banyak untuk keluarga.
Kamila menuturkan pengalamannya sebagai seorang perempuan. Setelah membuat film perdana "The Mirror Never Lies", putri sineas Garin Nugroho itu kemudian menikah dengan sutradara "Sang Penari" Ifa Isfansyah. Kala itu, dia tidak berpikir untuk kembali membuat film karena disibukkan dengan kegiatan baru seorang ibu.
Baca juga: Sutradara perempuan goreskan sejarah di Oscar
"Saya sangat jatuh cinta dengan putri pertama saya, dia adalah dunia saya. Ada kalanya saya berpikir mungkin saya tidak akan lagi membuat film, walau saya sudah menulis skenario film kedua, saya sama sekali tidak menyentuhnya," kata Kamila dalam bahasa Inggris.
Kemudian, produser Meiske Taurisia dan Edwin mengajaknya menyutradarai film pendek "Sendiri Diana Sendiri". Kamila kemudian menulis cerita mengenai masalah yang dia hadapi. Kamila, dengan suara tercekat dan mata berkaca-kaca mengenang masa itu, masih ingat kebahagiaan yang membuncah saat dia kembali duduk di bangku sutradara lagi setelah dua tahun fokus menjadi ibu.
"Rasanya seperti baru pertama kali lagi dan saya ingat betapa bahagianya saya kala itu," kata sutradara film "Yuni" yang mewakili Indonesia di ajang Academy Awards mendatang.
"Saya jadi teringat betapa saya sangat mencintai film dan saya tidak mau melepasnya."
Sang suami, Ifa, turut gembira mendukung keputusan Kamila. Namun, masih ada masalah yang harus dihadapi. Sebagai anak yang lahir di keluarga pembuat film, dia mengingat saat kecil harus sering berjauhan dengan ayahnya, Garin, yang sibuk syuting di berbagai tempat. Kadang dia tidak berjumpa dengan Garin selama beberapa pekan, kadang juga sampai beberapa bulan. Tapi Kamila dan adik-adiknya selalu ditemani oleh ibu yang fokus mengurusi rumah tangga.
"Jadi ketika ayah kami sedang syuting dan bekerja, hidup kami tidak berubah karena selalu ada ibu di samping kami. Tapi dalam kasus saya, bakal berbeda karena saya dan suami sama-sama sutradara. Kalau kami sedang syuting, siapa yang akan menjaga anak?"
Kamila dan Ifa memutuskan untuk mengajak anak mereka ikut lokasi syuting, studio hingga festival film agar mereka tahu segala hal tentang dunia yang digeluti oleh ayah dan ibunya. Ketika masih kecil, Kamila mengenang dirinya tidak terlalu tahu banyak tentang pekerjaan ayahnya. Kali ini, dia ingin buah hati mereka memahami apa yang dikerjakan orangtuanya, dan seberapa besar cinta Kamila dan Ifa terhadap film.
Ia mengambil perumpamaan seorang petani yang bekerja sesuai musim. Kamila ingin anaknya tahu ada masa ketika dirinya punya waktu lebih untuk dihabiskan bersama anak, seperti saat pengembangan naskah dan penyuntingan, ada kalanya dia akan sibuk karena harus berada di lokasi syuting, ada kalanya sang ibu harus bepergian ke luar kota atau luar negeri untuk menghadiri festival-festival.
"Saya pengin mereka tahu semuanya, semua detailnya," kata Kamila yang membawa buah hati ke berbagai tempat bersamanya, termasuk ke lokasi syuting di mana dia bekerja sambil tetap menyusui anak.
Tantangan baru datang ketika anak-anak lebih besar karena dia tidak bisa leluasa membawa mereka ke tempat kerja saat mereka pergi sekolah.
"Untuk saya, film dan keluarga tidak terpisahkan. Film juga bagian dari keluarga saya. Menurut saya, penting untuk memperlihatkan kepada orang lain bahwa kita bisa seperti itu."
Baca juga: Sutradara perempuan Indonesia raih American Movie Awards
Baca juga: Acha Septriasa "kurang puas"" jadi sutradara
Para aktris dan kru yang melihat Kamila tidak melepaskan perannya sebagai ibu di lokasi syuting kemudian melihat contoh bahwa hal itu memang memungkinkan. Dia juga mengizinkan kru dan aktris yang ingin membawa buah hati ke tempat kerja. Di sisi lain, dia memastikan semua kru tidak keberatan bekerja dengan sutradara yang juga seorang ibu yang kadang harus bekerja di lokasi syuting sambil mengurus keluarga.
"Tapi itu memang tidak mudah, jadi banyak juga sineas perempuan yang memilih mempekerjakan pengasuh untuk mengurus anak di rumah," kata Kamila.
Dia menjelaskan kepada Yukiko dan penonton di Tokyo bahwa memiliki pengasuh anak adalah hal lumrah di Indonesia, sesuatu yang mewah dan di negara seperti Jepang. Dalam hal ini, sutradara perempuan di Indonesia punya keleluasaan lebih karena dikelilingi lingkungan yang memudahkan mereka untuk bekerja. Sebuah keluarga biasa memiliki seorang asisten rumah tangga, bahkan ada keluarga yang mempekerjakan pengasuh yang berbeda untuk setiap anak.
Kamila mengaku takjub dengan sutradara perempuan di Jepang yang juga sibuk sebagai ibu tanpa bantuan pengasuh.
Yukiko Sode mengatakan dirinya merasa iri mendengar sistem pendukung di Indonesia yang berbeda dengan negaranya. Berkaca dari pengalamannya sendiri, ketika melahirkan anak pertama di Tokyo, sulit sekali mencari sekolah untuknya.
"Kadang perempuan harus berhenti bekerja demi mencari sekolah. Jadi saya pindah ke Kanazawa, cukup jauh dari Tokyo, dimana saya bisa langsung memasukkannya ke nursery school."
Baca juga: Dilarang ke festival, karya sutradara Iran tentang perempuan diputar di Cannes
Yukiko memanfaatkan waktu luang ketika putranya sedang berada di sekolah atau sedang tidur untuk menulis skenario.
Ketika mengerjakan "Aristocrats", dia tidak berjumpa selama empat bulan dengan putranya yang baru berusia empat tahun. Sang buah hati diasuh oleh mertua, tapi perpisahan dengan ibunya menciptakan masalah psikologis dimana putranya menangis sepanjang waktu ketika di sekolah dan membuat orang-orang di sekitarnya merasa khawatir.
Ketika dia mengandung anak kedua tahun lalu, Yukiko memilih untuk merahasiakan kehamilannya karena mendengar orang-orang selalu berkata, "Oh, pasti sulit sekali bekerja karena kamu punya anak."
Perutnya yang membesar tidak diketahui oleh para kolega karena pertemuan selalu diadakan secara daring melalui Zoom.
"Saya tidak mau (merepotkan orang di lokasi syuting), jadi saya merasa hanya bisa membawa anak di acara-acara khusus saja."
Mendengar cerita Kamila, dia menyadari bahwa di Indonesia rasanya normal saja membawa anak ke tempat kerja. Berkaca pada pengalamannya yang merahasiakan kehamilan kedua, dia berpikir mungkin keputusan itu tidak terlalu membantu para sineas muda yang kelak mungkin ingin berkeluarga.
Tapi dia mengakui ada perbedaan antara dia dan Kamila Andini. Ketika berbincang sebelumnya, Kamila mengatakan dia membawa buah hati kemana saja karena ingin terus berdekatan dengan anak, tapi Yukiko justru ingin punya waktu berkualitas sendirian. Dia merasa lega bisa menikmati waktu sendirian ketika anaknya pergi sekolah, sebab dia harus menjaga dan merawat buah hati hingga dia tertidur mengingat sang suami biasanya pulang kerja larut malam.
"Jadi, satu-satunya kesempatan saya bekerja adalah setelah putra saya tidur. Berada di lingkungan di mana orang memahami bahwa menyusui itu normal... Saya merasa para perokok selalu mencari area merokok, kalau saya selalu mencari ruangan untuk memompa ASI. Masyarakat kami belum terlalu mengakomodasi perempuan dengan anak."
Kekhawatiran berkarier setelah memiliki anak pernah dipikirkan oleh Kamila Andini pada 2013, saat dia menjalani program residensi Cinefondation dari festival film Cannes. Sutradara yang baru menikah ini ditanya oleh seorang kawan pembuat film, apakah ada niat untuk memiliki anak.
"Waktu saya bilang, 'tentu saja!' dia membalas, 'benarkah?'. Mungkin dia memikirkan tentang Palme d'Or atau pencapaian itu akan sulit didapatkan perempuan yang punya anak. Tapi keraguan ini selalu mengikuti kita. 'Bisakah saya mencapai mimpi setelah punya anak? Bisakah saya berkembang sebagai pembuat film?"
Yukiko berharap perempuan bisa dengan bangga memiliki anak dan tetap bekerja tanpa merasa inferior. Sebab, dalam banyak wawancara dia sering mendapati pertanyaan, "Sebagai ibu, apa yang kamu pikir mengenai...?". Padahal, sutradara laki-laki tidak pernah mendapatkan pertanyaan seperti itu meski mereka juga seorang ayah.
Kamila Andini menegaskan pentingnya lingkungan yang mendukung agar perempuan juga tetap bisa menggapai mimpi meski mereka sudah menikah dan berkeluarga. Seluruh anggota keluarga harus saling bahu membahu, orang-orang di sekitar harus bisa memahami bahwa pengorbanan yang dilakukan memang sepadan dengan hasilnya.
Bicara tentang apa yang bisa dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sineas perempuan di Jepang, Yukiko mengatakan ini tidak bisa diubah oleh individu, tetapi dia akan mencoba untuk membawa buah hatinya ke tempat penyuntingan atau acara-acara promosi.
"Sebagian aktor sekarang meminta agar bisa membawa anak ke lokasi syuting, jadi keadaan mulai berubah, tapi ini kembali lagi ke anggaran. Jika saya terbuka dan yakin kita bisa bekerja sambil membawa anak ke lokasi syuting, mungkin itu bisa membantu."
Baca juga: Chloe Zhao perempuan Asia pertama yang jadi sutradara terbaik Oscar
Baca juga: Alasan sutradara perempuan banyak dibutuhkan
Baca juga: Dorongan kesetaraan Hollywood gagal naikkan jumlah sutradara perempuan
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021