"Bisa, ya, bisa. Inikan beda sama Protokol Kyoto, sekarang Paris Agreement. Publik harus tahu," kata Prof Edvin yang juga merupakan Wakil Ketua Kelompok Kerja I dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan Protokol Kyoto yang merupakan persetujuan internasional tentang pemanasan global, mengharuskan negara-negara industrial yang meratifikasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) mereka sebesar 5,2 persen dibanding dengan tahun 1990. Sehingga jika ada negara yang menghasilkan emisi melebihi persentasenya mereka di tahun 1990, mereka harus bisa memotongnya.
"Tapi kalau Paris Agreement itu lebih fleksibel. Jadi silakan membangun, yang penting kamu mencapai 'net zero emission'. Begitu," ujar dia.
Baca juga: Ketua DPR RI dukung dunia terapkan ekonomi hijau untuk kurangi emisi
Baca juga: KLHK: Mangrove berkontribusi besar capai target net sink emisi GRK
Karena fleksibilitas Paris Agreement itulah membuat negara-negara industrial seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada meninggalkan Protokol Kyoto. Negara-negara G20 juga mendukung pemufakatan yang dihasilkan di Paris tersebut karena memang dianggap lebih fleksibel dalam pelaksanaannya.
Berbeda sekali dengan Protokol Kyoto yang, menurut dia, jadi seolah-olah menahan pembangunan sehingga kondisinya seperti kembali ke tahun 1990-an, Paris Agreement lebih bebas tapi perlu dipersiapkan betul penyeimbangnya harus ada.
Caranya bisa bermacam-macam, kata Prof Edvin. Bisa dari sektor kehutanan atau penyerapan karbon, atau bisa juga masuk dari sektor keuangan, misalnya memakai insentif fiskal, pajak karbon, obligasi hijau dalam bentuk rupiah atau dolar, sukuk hijau, yang semua dimasukkan dalam strategi pembangunan.
Ia juga mengatakan untuk bisa mencapai net zero emission juga tidak harus nol deforestasi mengingat sektor pembangunan itu banyak bukan hanya kehutanan saja. Bisa juga dari sektor energi dan keuangan.
"Jadi strategi pembangunan seperti apa terserah masing-masing negara lah. Enggak harus zero deforestation," ujar dia.
Utas cuitan Menteri LHK Siti Nurbaya melalui akun Twitternya @SitiNurbayaLHK pada 3 November 2021, pukul 12.03 PM, mendapat banyak tanggapan dari netizen. Isi utas cuitan tersebut berbunyi,"Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi".
Melalui cuitan berikutnya di media sosial yang sama ia meminta netizen untuk membaca pesannya tentang deforestasi harus secara utuh. Netizen dipersilakan membaca secara lengkap di akun Facebooknya, yang secara utuh mencoba menjelaskan bahwa Indonesia FoLU Net Sink 2030 bukan berarti nol deforestasi.
Dalam utas cuitannya berikutnya pada 4 November 2021, pukul 14.08, Siti mengatakan bahwa arahan Presiden Jokowi sudah sangat jelas bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah harus seiring sejalan dengan kebijakan untuk menurunkan deforestasi dan emisi. Harus ada keseimbangan.
Presiden Jokowi juga menekankan, setiap kementerian dalam membangun apapun harus memperhatikan lingkungan dan dampaknya. Pesan itu telah direalisasikan dalam langkah kerja lapangan yang dalam beberapa waktu ini terus berlangsung, cuitnya.*
Baca juga: Menteri PUPR paparkan upaya mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca
Baca juga: Inggris akan tetapkan cara pembiayaan capai emisi nol bersih
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021