"China akan terus berusaha menerapkan kebijakan nol penularan karena tingkat kematian global sebesar dua persen masih terlalu tinggi," ujar Zhong seperti dikutip media China, Kamis.
Kasus COVID-19 terakhir yang ditemukan di Provinsi Gansu dan daerah otonomi Mongolia sejak dua pekan lalu telah merambah 19 provinsi.
Bahkan, kasus tersebut lebih sporadis dibandingkan gelombang sebelumnya yang berawal dari klaster di Nanjing pada Juni lalu.
Menurut Zhong, kasus sporadis tersebut hal biasa setelah China melonggarkan pembatasan kedatangan orang asing menjelang Olimpiade Musim Dingin (Winter Olympic) di Beijing pada awal 2022.
"Saya berpikir kebijakan nol penularan akan terus diterapkan di beberapa tempat dalam waktu lama. Soal kepastian (kapan dicabut pembatasan), tergantung situasi global dan regional dalam beberapa bulan ke depan," kata pakar yang baru saja mendapatkan penghargaan dari otoritas China atas dedikasi dalam penelitian SARS dan COVID-19 itu.
Baca juga: Delapan pejabat di China dibebastugaskan terkait kasus terbaru COVID
Ia beranggapan kebijakan nol penularan tidak membutuhkan biaya yang mahal. Justru membiarkan virus menyebar, menurut dia, biayanya sangat mahal.
COVID-19 di China mencatat rekor pada Rabu (4/11) dengan 104 kasus baru yang terdiri dari 87 warga lokal dan 17 warga asing, berdasarkan data Komisi Kesehatan Nasional China (NHC), Kamis.
Selain itu, terdapat 31 kasus baru tanpa gejala pada Rabu.
Sementara 406 kasus tanpa gejala lainnya sampai saat ini masih dalam pemantauan medis.
Sejak COVID-19 pertama kali dilaporkan sampai saat ini di China terdapat 97.527 kasus dengan jumlah kematian 4.636 orang.
Di Hong Kong terdapat 12.532 kasus COVID-19 dengan jumlah kematian 213 orang.
Makau mencatat 77 kasus dan dua kematian, sementara Taiwan mencatat 16.428 kasus dan 847 korban jiwa akibat COVID-19.
Baca juga: China waspadai pelabuhan untuk kurangi risiko COVID-19
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2021