Mayu adalah orang di balik film dokumenter tentang anak keturunan Jepang-Brasil yang menghadapi berbagai kendala di dua negara tersebut dalam “Lonely Swallows–Living as the Children of Migrant Workers”, film yang diganjar penghargaan Grand Prix in Documentary Features di Festival Film Brasil. Dia kembali melahirkan film dokumenter "Alone in Fukushima" pada 2015, berkisah tentang pria yang tinggal di zona nuklir Fukushima bersama binatang-binatang. Mayu juga terlibat dalam "Tokyo Trial" yang dinominasikan sebagai Best TV Movie/Mini-Series Emmy Award ke-45.
Mayu berbincang-bincang dengan ANTARA dan beberapa media lain via zoom di sela penyelenggaraan Festival Film Internasional Tokyo (Tokyo International Film Festival) 2021, tempat dia menayangkan film teranyar "Intimate Stranger" yang dibintangi oleh Asuka Kurosawa (Megumi) dan Kamio Fuju (Yuji). Perbincangan yang singkat dilanjutkan dengan korespondensi via surel untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lain yang belum terjawab.
Mayu Nakamura berbincara mengenai detail-detail dalam filmnya, proses pembuatan skenario, cerita di balik kasting, pengalaman membuat film di tengah pandemi, hingga tantangan yang dihadapi oleh sutradara perempuan Negeri Sakura di tengah industri film yang maskulin.
Baca juga: Film "Belfast" raih penghargaan People's Choice di TIFF
Baca juga: "YUNI" raih Platform Prize di Festival Film Internasional Toronto 2021
Dalam "Intimate Stranger", Asuka berperan sebagai Megumi yang mencari Shinpei (Yuu Uemura) putranya yang hilang, sementara Yuji adalah sosok misterius yang mendadak muncul, menawarkan jawaban atas kepergian Shinpei. Yuji, yang sepantaran dengan anak Megumi, terlibat dengan hubungan rumit dengan Megumi. Seiring waktu berjalan, terkuaklah pengalaman masa lalu yang membuat mereka terhubung. Megumi dan Yuji memiliki sisi lain yang penuh rahasia, menciptakan twist dalam film menegangkan ini.
Tanya (T): Bisa diceritakan awal mula cerita “Intimate Stranger”? Idenya sebetulnya sudah sejak lama kan, tentang imigran China yang jatuh cinta dengan perempuan Jepang yang kehilangan anak. Bagaimana akhirnya bisa berubah seperti ini?
Jawab (J): Saya pertama kali menulis skenario mungkin tak lama setelah film panjang pertama saya, “The Summer of Stickleback”, tayang pertama di Busan (Korea Selatan) tahun 2006. Jadi sudah lama. Tapi, dulunya memang tentang perempuan paruh baya yang mencari anaknya yang hilang dan seorang seorang trainee China yang kabur dari pabrik. Butuh waktu untuk membuatnya dan ketika saya dapat dana, pandemi sudah terjadi, tepatnya musim panas tahun lalu. Karena kami tidak punya banyak waktu, kami harus mengubah skenario agar latar belakangnya saat pandemi. Jadi, semua harus memakai masker di luar rumah, dan ini menarik karena drama ini sebagian besar terjadi di dalam rumah. Jadi, kami bisa memainkan ide dunia luar di mana orang pakai masker dan banyak hal berbahaya, tapi ada juga bahaya di dalam rumah karena perempuan ini punya kegilaan sendiri di dalam dirinya.
T: Saya merasa ada aspek eksistensial dari sebuah kengerian yang bertransformasi ke seluruh narasi. Dari luar mungkin terlihat seperti terpengaruh COVID, tapi dari dalam, ada sebuah ketakutan dan kejanggalan yang mendefinisikan seluruh struktur narasi di film ini. Bisa dijelaskan?
J: Saya tinggal beberapa tahun di luar negeri, ketika saya pulang ke Jepang saya terkejut dengan fenomena di mana para ibu sangat memanjakan putra mereka, mungkin itu fenomena di Asia dimana ibu menganggap anak laki-laki lebih berharga dibandingkan anak perempuan. Jadi, saya pikir itu menarik dari sudut pandang orang yang besar di Barat. Makanya saya ingin menggambarkan itu.
Tentang penipuan via telepon (ore-ore scam), ini banyak terjadi di Jepang. Biasanya yang menelepon itu laki-laki (berpura-pura jadi anak), bukan perempuan yang pura-pura menelepon ibunya untuk meminta uang. Jadi menurut saya ini menarik bagaimana ini Jepang sekali. Saya berusaha menggambarkan gejala di masyarakat Jepang, mungkin ini fenomena Asia di mana ibu-ibu terobsesi terhadap putra mereka dan obsesi itu membuat mereka gila.
Mayu menggambarkan modus penipuan yang lazim di Jepang, yakni penipuan "ore ore". Yuji digambarkan sebagai salah satu anggota kelompok penipuan "ore ore", ("ore" adalah "saya" dalam bahasa Jepang), ketika penipu menelepon perempuan tua, lalu berpura-pura menjadi anak laki-laki atau cucu dengan menyebut "ore ore" ("ini saya"), dan meminta dikirimkan sejumlah uang dengan berbagai alasan. Modus penipuan ini juga terjadi serupa di Indonesia, seperti oknum yang berpura-pura menjadi pihak berwajib dan menelepon secara acak untuk mengabari bahwa sang anak kecelakaan atau terlibat kasus pidana.
T: Boleh dibilang film ini adalah kritik sosial?
J: Ini memang semacam kritik sosial, seperti penipuan telepon yang sebagian besar dilakukan laki-laki dan fakta ketika kau di Jepang, ketika kau berumur di atas 30 tahun, kau entah harus sudah menikah atau jika kau sudah menikah dan tidak punya anak, kamu merasa diperlakukan manusia yang tidak lengkap. Mungkin terlalu kejam bilang hal ini, tapi kau merasa saya mencoba menggambarkan perempuan yang gagal jadi ibu dan gagal jadi istri. Dan dia harus hidup seperti itu. Dan ada anak lelaki yang besar tanpa merasakan cinta seorang ibu datang ke dalam hidup perempuan ini. Kemudian perempuan ini pun mengambilnya.
Ini film tentang seorang ibu yang terjebak (dalam kegilaannya), tapi salah satu alasan film ini sulit dibuat, begitu juga soal mencari dana untuk membuatnya, walau kami punya banyak sutradara perempuan sekarang, tapi penyandang dana sebagian besar laki-laki. Dan kadang ketika saya menyodorkan skenario ke laki-laki penyandang dana, mereka bilang 'agak ngeri ya karena ceritanya tentang perempuan tua dan laki-laki lebih muda'. Dan saya yakin 100 persen mereka tidak akan bilang begitu kalau ceritanya tentang lelaki paruh baya punya hubungan yang tidak lazim dengan perempuan muda.
Jadi saya merasa seperti “glass ceiling” dalam hal mencari pendanaan untuk film ini karena sebagian besar hal yang dipentingkan dalam film Jepang adalah subjek yang diangkat. Biasanya, antara pria, pria dewasa yang jadi karakter utama, atau gadis SMA. Sulit buat perempuan di atas 30 tahun untuk nonton film Jepang dan menikmatinya karena tidak ada yang mewakili mereka di film. Mereka biasanya mendapatkan peran jadi ibu yang baik, istri yang baik, pokoknya perannya sangat terbatas. Peran yang tipikal.
Baca juga: Digelar luring, TIFF laporkan kasus positif COVID-19
T: Bagaimana proses kasting untuk Asuka Kurosawa dan Fuju Kamio. Sekilas, Fuju Kamio dan Yuu Uemura terlihat mirip, apakah disengaja, untuk memperlihatkan bahwa karakter utamanya memang ingin menggantikan anaknya dengan orang yang mirip?
J: Seperti yang saya bilang tadi, sulit membuat film dengan pemeran utama perempuan paruh baya. Saya sangat terkesan dengan Asuka Kurosawa karena dia adalah aktris yang serba bisa, dan saya ingin membuat film seperti Isabelle Huppert di “Elle” atau Juliette Binoche dan aktris Prancis lain yang sudah berumur tapi mereka masih bisa memerankan karakter heroik dan seksi. Tapi sebagian besar aktris Jepang ketika sudah di atas 30 tahun hanya bisa memerankan ibu atau istri yang baik. Makanya saya ingin membuat film dimana perempuan paruh baya bisa tampil seksi. Jadi itulah alasannya saya memilih Kurosawa untuk bermain film. Saya ingin dia jadi Isabelle Huppert versi Jepang.
Kalau Fuju Kamio, saya tadinya tidak mengenalnya sebelum kasting untuk film ini. Tapi, ketika kita membuat film di periode pandemi, pemain harus sering tampil di depan kamera dengan memakai masker, jadi pemain harus punya mata yang tajam karena berakting dengan mata. Maka dari itu, saya mencoba mencari aktor yang punya mata tajam, yang punya kekuatan. Saya tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya, tapi dia tidak hanya tampan, dia juga punya mata yang memancarkan sesuatu yang kelam, ini bukan hal yang buruk melainkan pujian ya, dan saya menyukai hal itu.
Seperti yang Anda katakan, Yuu Uemura punya tampilan yang serupa dengan Kamio. Memang saya sengaja memilihnya begitu karena perempuan ini mencari “anak laki-laki” yang punya potongan tertentu. Dia mencari tipe yang serupa. Yuu juga punya mata yang tajam.
T: Anda punya latar belakang di film dokumenter, seberapa besar pengaruhnya dalam pembuatan film panjang fiksi?
J: Sebenarnya saya tidak suka memakai banyak musik dalam hal mengarahkan sebuah emosi. Saya mencoba lebih fokus pada akting. Director of Photography (DP) saya datang dari latar belakang dokumenter. Dia adalah ahli yang bisa menangkap akting seorang aktor selayaknya film dokumenter. Dan kami berusaha fokus kepada akting, dibandingkan gambar, karena sebagian DP lebih fokus menampilkan gambar yang indah, tapi bukan itu yang terjadi di film ini. Kami lebih fokus pada performa aktor dan bagaimana menceritakan kisah ini lewat akting. Dalam hal itu, kami mengusung pola pikir dokumenter karena saya sering ditanya, dokumenter dan film fiksi kan sangat berbeda, tapi dalam pikiran saya, itu sama saja, dilihat dari caramu menggambarkan seseorang dan caramu mencoba menggambarkan kehidupan manusia. Esensinya sama, hanya saja pendekatannya berbeda. Jadi, kami punya DP dengan latar dokumenter dan saya punya latar belakang dokumenter, kami akhirnya mencoba merekam aktor-aktor seperti kami membuat dokumenter.
T: Menurut Anda, karya Anda lebih condong menonjolkan cerita atau gambar yang indah? Mana aspek yang lebih penting, aktornya atau gambarnya? Bagaimana aspek ini menghubungkan sinematografimu?
J: Saya membuat story board dan persiapan sebelum syuting, tapi kami selalu duduk dan menonton aktor di tempat latihan lalu kami memikirkan bagaimana cara merekam adegannya. Jadi komposisinya tercipta secara alami dari bagaimana aktor-aktornya bergerak. Dalam hal gambar, ada beberapa gambar seperti bulu dari burung biru yang simbolis. Saya mencoba memvisualisasikan apartemen ini seperti tubuh perempuan, rahim perempuan. Jadi, peralatan elektronik seperti mesin cuci, ventilator, dan semua benda yang berbunyi kayak teko siul, membuat ini seperti film domestik. Mesin cuci ini seperti tubuh Megumi. Jadi saya berusaha membuat bunyi ventilator dan sedikit efek suara, dan kloset yang dibuka oleh Kamio Fuju di akhir adalah rahimnya. Itu adalah uterusnya dan dia tersedot ke dalam uterus itu. Jadi itulah ide dari film ini, karena banyak film Jepang yang dibuat dengan dana rendah, tapi kita harus sangat penuh imajinasi karena kita tidak bisa pakai grafis komputer dan hal-hal yang keren tapi mahal. Oleh karena itu, saya mencoba membuat lokasi yang semenarik mungkin dengan memakai barang-barang betulan.
T: Bagaimana rasanya syuting di era pandemi? Ada keuntungan yang dirasakan?
J: Dalam hal syuting, agak lebih sulit, tapi saya melihat ada peluang untuk membuat lebih banyak film independen. Soalnya tahun lalu banyak produksi besar dibatalkan, jadi kabar baiknya banyak kru dan aktor yang bisa diajak bekerjasama. Terutama film pendek yang saya buat itu dananya terbatas, karena kami tidak bisa produksi dalam skala besar dan jangka waktu panjang, cara saya membuat film secara cepat dengan biaya kecil jadi bermanfaat saat pandemi. Sebab kita hanya bisa bekerja dengan sedikit orang dan waktunya pun singkat. Oleh karena itu, saya memanfaatkan peluang ini untuk membuat film dan mengembangkannya. Sebab saya pikir pandemi ini menarik karena tidak cuma mempengaruhi satu negara, tapi ini fenomena global. Semua orang bisa memahaminya. Mungkin ada film-film lain yang dibuat tentang pandemi, tapi tidak banyak juga. Jadi saya ingin menangkap peluang ini. Mungkin juga ini gara-gara saya punya latar belakang dokumenter yang selalu ingin menangkap apa yang terjadi saat ini. Menceritakan kisah yang terjadi saat ini.
T: Apa sih arti cinta bagimu?
J: Saya berusaha mencoba menggambarkan hubungan ini, bukan sebagai ibu dan anak, bukan juga sebagai kekasih, tapi hubungan mereka memang hubungan yang tak biasa. Menurut saya itu menarik karena saya sutradara perempuan, seringkali saat saya menulis skenario, banyak laki-laki bilang, ‘Oh, kamu tidak memasukkan adegan seks di sini? Kenapa tidak ada adegan seks di sini, padahal mereka di ruangan yang sama?’ Bukannya saya tidak mau menggambarkan seks, tapi saya merasa ada banyak hal yang erotis ketimbang digambarkan sebagai seks saja, yang menurut saya kadang agak membosankan. Saya pikir ada hal-hal yang lebih erotis ketimbang hanya digambarkan sebagai seks semata, terutama Megumi yang merasa terangsang ketika ada pria muda di rumahnya, lalu ketika ada piring yang jatuh dan pecah, lalu dia mengambil pecahannya dan jarinya terluka, lalu dia menjilat jarinya, itu lumayan erotis. Ini waktunya mengeksplorasi erotisisme yang berbeda yang bisa muncul tak hanya di antara sepasang kekasih.
Baca juga: Perempuan Indonesia menantang untuk ditulis, kata Kamila Andini
Baca juga: Film dan keluarga tak terpisahkan bagi Kamila Andini
Baca juga: "Wife of Spy" dapat penghargaan bergengsi di Asian Film Awards
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021