"Saya memberikan apresiasi sekali bahwa Jaksa Agung ST Burhanuddin betul-betul progresif. Artinya, kebijakan yang merespons tentang kondisi tindak pidana narkotika, khususnya terkait dengan pemidanaan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.
Dalam permasalahan tersebut, kata dia, penyelesaian restorative justice (keadilan restoratif, red.) dan penanganan rehabilitasi merupakan sesuatu yang sangat menentukan arah dari pemidanaan di Indonesia.
Dengan demikian ke depannya, lanjut dia, tidak menjadi overcrowding atau melebihi kapasitas di dalam lembaga pemasyarakatan.
"Cuma masalahnya, dengan keluarnya pedoman ini, harus diikuti jaksa-jaksa yang profesional dalam melakukan mediasi karena jangan sampai disalahgunakan oleh oknum. Harus melihat suatu peta perkara, harus melihat kondisi sosial masyarakat, harus melihat dampak sosial yang terjadi dengan narkotika yang ada," kata Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan Unsoed Purwokerto itu.
Baca juga: Jaksa Agung: Keadilan restoratif rawan disalahgunakan
Baca juga: Fahri harap Presiden respons gagasan keadilan restoratif Jaksa Agung
Menurut dia, hal tersebut yang harus dipahami karena tanpa itu, agak sulit nantinya untuk bisa diterima di dalam penegakan hukum, khususnya publik dengan berbagai pertanyaan.
"Misalnya, pertanyaannya begini, wah kenapa ini tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice? Ada yang bisa diselesaikan (dengan keadilan restoratif), ada yang tidak. Ini jangan sampai menjadikan diskriminasi, sehingga pedoman baru ini harus diikuti SDM-SDM (sumber daya manusia, red.) yang mampu memberikan penyelesaian yang solutif terhadap perkembangan dinamika masyarakat, sehingga tidak terjadi diskriminasi dalam penanganan kasus," tutur dia menegaskan.
Ia mengatakan jaksa harus benar-benar memahami peta kasus penyalahgunaan narkotika yang sedang ditanganinya dan benar-benar melihat aspek sosial masyarakat.
Menurut dia, jaksa harus benar-benar memahami perbedaan antara penyalahguna atau pemakai, pengedar, dan bandar narkotika, sehingga tidak salah dalam penanganannya.
Dengan demikian, kata dia, jangan sampai orang yang sebenarnya bandar narkotika justru ditangani sebagai pemakai.
"Jangan sampai penanganan ini malah justru blunder (menjadi keliru, red.) oleh Kejaksaan karena ketidakcermatan dalam menangani kasus yang ada, melihat dinamika kasus yang terjadi, pemetaan kasusnya harus jelas," ujar Hibnu.
Seperti diwartakan, Jaksa Agung RI ST Burhanuddin mengeluarkan Pedoman No.18 Tahun 2021 untuk para penuntut umum sehingga mereka memiliki acuan menangani kasus penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.
Dengan demikian, pedoman itu diharapkan dapat menjadi salah satu cara mengurangi masalah kelebihan kapasitas di lembaga permasyarakatan, karena jaksa dapat mengoptimalkan opsi hukuman lain, yaitu rehabilitasi.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021