"Peta bahaya tsunami ialah peta yang menggambarkan potensi bahaya tsunami beserta zona bahaya lewat informasi waktu tiba tsunami dan kedalaman genangan," kata Staf Operasional Sub Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG M Harvan di Labuan Bajo, Rabu.
Berdasarkan sejarah, perairan Labuan Bajo di Manggarai Barat dan Komodo pernah mengalami dua kali tsunami, yaitu pada 28 November 1836 dan 14 April 1855. Oleh karena itu, BMKG mengajak masyarakat memahami peta bahaya tsunami sebagai salah satu langkah mitigasi terhadap potensi tsunami yang ada.
Baca juga: Doktor mengabdi UB sosialisasi mitigasi bencana di Kota Batu
Peta bahaya tsunami digunakan sebagai dasar perencanaan rute atau jalur evakuasi dan penentuan tempat evakuasi sementara (TES) maupun tempat evakuasi akhir (TEA). Melalui peta bahaya tsunami, masyarakat bisa mendapatkan informasi identifikasi zona bahaya dan level potensinya, zona aman, penentuan jalur evakuasi dan shelter, penilaian risiko dan kerentanan (sosial, lingkungan, aset, ekonomi), serta perencanaan pembangunan.
Harvan menyebut dalam peta tersebut ada tanda warna yang menandakan kedalaman dari genangan tsunami yang akan terjadi pada daerah tersebut. Tingkat kerawanan tsunami juga dibagi menjadi tiga, yakni tinggi, sedang, dan rendah.
Pada tingkat kerawanan tsunami "tinggi", daerah diperkirakan dilanda tsunami dengan ketinggian genangan lebih dari tiga meter. Ketinggian tsunami tersebut dapat menyebabkan kapal kecil rusak, kapal besar terdorong ke darat, bangunan rumah rusak, pasir dan bongkah terendap di pantai, hingga kerusakan sangat parah.
Selanjutnya tingkat kerawanan tsunami "sedang" yang mana daerah diperkirakan dilanda tsunami dengan ketinggian genangan antara 0,5 meter hingga tiga meter. Ketinggian tsunami tersebut dapat menyebabkan kapal kecil terdorong arus dan bertabrakan, kerusakan pada sebagian rumah, tapi bangunan dengan konstruksi yang baik masih bertahan.
Berikutnya pada daerah dengan tingkat kerawanan tsunami "rendah" diperkirakan dilanda tsunami dengan ketinggian genangan kurang dari 0,5 meter. Ketinggian tsunami tersebut dapat menyebabkan kapal kecil bergerak cepat ke darat dan bertabrakan, serta menimbulkan genangan pada tanah kosong dekat pantai.
Harvan meminta masyarakat untuk memahami juga waktu tiba tsunami di Indonesia. Berdasarkan data BMKG, waktu tiba tsunami lokal di Indonesia berkisar antara 10-60 menit. Namun, ada pula kejadian yang kurang lebih dari 10 menit. Hal itu pernah terjadi saat gempa bumi Palu-Donggala pada 28 September 2018. Saat itu gempa bumi terjadi pada pukul 18.02.54 Wita dan tsunami tiba pada pukul 18.06.29 Wita. Sehingga, waktu tiba tsunami hanya berlangsung lebih kurang 3 menit 35 detik.
Jika masyarakat merasakan goyangan gempa bumi kuat, berayun, dengan durasi yang lama, dia meminta masyarakat tidak perlu menunggu informasi dari BMKG. Masyarakat bisa mengevakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi atau menjauhi pantai dan tepian sungai yang dekat dengan muara.
"Jika mendengar bunyi sirine, segera evakuasi," tegasnya.
Baca juga: Mitigasi Bencana di KEK Mandalika jelang WSBK diperkuat
Baca juga: Inovasi rumah komposit tahan gempa sebagai solusi mitigasi bencana
Baca juga: Kepala BNPB minta empat provinsi waspadai dampak fenomena La Nina
Pewarta: Fransiska Mariana Nuka
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021