Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
"Peraturan ini merupakan terobosan penting karena dapat menjadi suatu pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan serta mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang pada akhirnya dapat menciptakan kehidupan kampus yang semakin positif, tanpa kekerasan. Peraturan ini juga telah memasukan bentuk kekerasan seksual yang terjadi di dunia teknologi informasi komunikasi. Kami juga berharap lembaga lainnya, baik swasta maupun negeri, untuk mulai mengembangkan kode etik di lembaga masing masing," ujar Menteri Bintang melalui siaran pers di Jakarta, Senin.
Bintang mengatakan kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak yang besar bagi perempuan dan anak, diantaranya masalah kesehatan mental, hilangnya produktivitas yang berpengaruh terhadap ekonomi bahkan bisa mengakibatkan kematian.
"Selain merupakan pelanggaran HAM yang serius, pada level negara, beban ekonomi yang ditanggung dalam pencegahan hingga penanganan kekerasan juga sangat besar. Tentunya jika kita dapat menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, maka sumber daya ekonomi ini dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Untuk itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan masalah kita bersama,” tutur Menteri Bintang.
Sampai saat ini, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tercatat masih tinggi. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak Kemen PPPA periode 1 Januari - 31 Mei 2021, terjadi 3.355 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban sebanyak 3.410 orang.
Baca juga: I2: Aturan tentang kekerasan seksual tuai polemik di media sosial
Baca juga: USU dukung Permendikbudristek Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021