PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) menyiapkan sejumlah inisiatif untuk mengatasi kesenjangan antara tren kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dan petrokimia yang terus meningkat dengan kapasitas kilang BUMN ini yang belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut.Untuk mengatasi gap tersebut sekaligus menuju transisi energi, ada lima inisiatif di sektor energi dan petrokimia yang dilakukan KPI
Direktur Utama PT KPI Djoko Priyono mengatakan kebutuhan BBM diperkirakan mencapai 1,5 juta barel per hari (bopd) hingga 2030, sedangkan kapasitas kilang saat ini 700 ribu bopd atau ada gap 800.000-an bopd.
Sementara itu, kebutuhan petrokimia hingga 2030 mencapai 7.646 kilo ton per tahun. Saat ini di dalam negeri baru bisa memproduksi produksi 1.000 kilo ton per tahun.
“Untuk mengatasi gap tersebut sekaligus menuju transisi energi, ada lima inisiatif di sektor energi dan petrokimia yang dilakukan KPI,” kata Djoko pada Webinar Kilang Dalam Transisi Energi, Roadmap Pengembangan Kilang dan Petrokimia, Green Fuel Serta Hilirisasi Produksi di Jakarta, Selasa.
Menurut Djoko, lima inisiatif adalah arah yang dilakukan kalau terjadi penurunan konsumsi BBM, yakni konversi dari produk BBM ke bahan baku petrokimia hingga petrokimia. Sebelum 2020 solar masih impor, dengan adanya B10-B20 hingga kini tidak ada lagi impor solar dan avtur.
“RDMP (pengembangan kilang) fokus pada gasoline pertaseries, yang sampai 2030 diprediksikan masih ada gap sehingga beberapa RU (Refinery Unit) fokus pada gasoline pertaseries, Selain itu, kami juga meningkatkan kualitas produk dari Euro 2 ke Euro 5,” ungkap Djoko.
Untuk GRR Tuban diharapkan mampu memproduksi 30 persen kebutuhan petrokimia di dalam negeri. Pengembangan petrokimia juga dilakukan dengan meningkatkan produksi PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), anak usaha KPI. Hal ini dilakukan apabila kebutuhan BBM bisa disubstitusi ke energi terbarukan.
“Akan di-convert ke petrokimia untuk kebutuhan dalam negeri. Apalagi saat ini kebutuhan petrokimia dalam negeri 70 persen masih impor,” katanya.
Inisiatif lainnya, lanjut Djoko, KPI akan mengembangkan produk turunan kilang, yang akan diperhatikan sampai betul-betul produk hilirisasi (downstream), seperti untuk bahan baku ban maupun parafin. Semua bahan baku ada di kilang untuk produk-produk tersebut sampai pada end customer.
KPI juga akan mengembangkan biorefinery, feedstock dari sawit.
“Ini dalam upaya mengantisipasi transisi energi, juga dalam rangka konversi apabila terjadi penurunan konsumsi BBM. Tentunya akan sangat mengurangi CAD (current account deficit) pemerintah apabila petrokimia bisa diproduksi dalam negeri,” kata Djoko.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis KPI, Joko Widi Wijayanto mengatakan berdasarkan data Pertamina Energy Institute, bisnis bahan bakar minyak akan menghadapi tantangan dengan gross margin 12 dolar AS per barel dan spread gas oil di posisi 17 dolar AS.
Selain itu, ada gross margin di produk petrokimia. Sementara harga minyak pada 2030 diperkirakan 54 dolar AS per barel.
“Yang jelas saat ini ke depan bisnis BBM yang dikelola oleh refinery akan mengalami tantangan, yakni pergeseran demand akibat transisi energi dan gross margin masih tertekan,” kata Joko Widi.
KPI akan beradaptasi dengan merencanakan produksi petrokimia dari bahan baku yang dihasilkan kilang.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi tantangan yang akan dihadapi dalam bisnis BBM yang dikelola ke depan. Selain karena pergeseran demand akibat transisi energi juga dipengaruhi gross margin bisnis pengolahan BBM yang masih tertekan.
“Selain mendapatkan 54 dolar AS per barel, KPI bisa membantu menekan CAD yang masih tinggi dengan rencana memproduksi produk petrokimia,” kata Joko Widi.
Baca juga: Wujudkan kilang hijau, produk Pertamina RDMP Balikpapan standar Euro V
Baca juga: Pertamina targetkan RDMP Balikpapan produksi Pertamax Maret 2024
Baca juga: Kilang Pertamina Internasional catat kinerja positif triwulan I 2021
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021