• Beranda
  • Berita
  • Praktisi: Permendikbudristek PPKS tegaskan kesetaraan gender

Praktisi: Permendikbudristek PPKS tegaskan kesetaraan gender

25 November 2021 14:36 WIB
Praktisi: Permendikbudristek PPKS tegaskan kesetaraan gender
Tangkapan layar Praktisi Hukum Yosep Parera dalam webinar nasional bertajuk “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan di Indonesia” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube BEMFH UMK, dipantau dari Jakarta, Kamis (25/11/2021). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.

Permendikbudristek PPKS juga membuktikan kekerasan seksual dapat pula dialami oleh laki-laki di lingkungan perguruan tinggi.

Praktisi hukum Yosep Parera menilai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menegaskan kesetaraan gender sehingga menciptakan keadaan ideal bagi mahasiswa dan mahasiswi di kampus.

"Permendikbudristek ini menciptakan suatu keadaan yang ideal di kampus, antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam berpikir, berargumentasi, dan menentukan nasibnya sendiri melalui perasaan serta pikiran," kata Yosep Parera.

Ia menyampaikan hal tersebut dalam webinar nasional bertajuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan di Indonesia yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube BEMFH UMK, dipantau dari Jakarta, Kamis.

Di samping itu, lanjut Yosep, Permendikbudristek PPKS juga membuktikan kekerasan seksual dapat pula dialami oleh laki-laki di lingkungan perguruan tinggi.

"Bisa saja laki-laki juga mendapatkan perlakuan kekerasan seksual secara fisik ataupun psikis seksual ketika dia berada di lingkungan kampus," katanya.

Ia mengapresiasi pendefinisian kekerasan seksual di dalam Pasal 1 ayat (1) Permendikbudristek PPKS yang tidak hanya mengatur kekerasan secara fisik, tetapi juga kekerasan psikis.

Di dalamnya, kata dia, disebutkan bahwa yang dimaksud kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang.

Perbuatan tersebut terjadi, menurut dia, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik, termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilangnya kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Oleh karena itu, segala bentuk penderitaan fisik dan psikis yang dialami oleh mahasiswa atau mahasiswi tergolong dalam kekerasan seksual.

"Bukan hanya soal fisik atau menyentuh tanpa persetujuan, ini juga diatur secara psikis. Jadi, misalnya ada perempuan di kampus mengalami ucapan yang merendahkan martabatnya, ketentuan peraturan undang-undang membuat pelaku dapat dikenai sanksi," kata Yosep.

Tidak sampai di sana, pendiri Rumah Pancasila ini juga menilai Permendikbudristek PPKS telah membatasi masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berada di lingkungan perguruan tinggi untuk tidak saling melecehkan antara perempuan dan laki-laki.

Baca juga: Praktisi sebut legisme jadi kendala atasi kasus kekerasan seksual

Baca juga: Bareskrim Polri beri atensi kasus kekerasan seksual anak di Malang

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021