Menurut Senator asal Jawa Timur itu, sumbangan yang paling jelas adalah bahasa Melayu yang digunakan sebagai bahasa nasional Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, serta beberapa negeri Melayu lainnya.
“Begitu juga sistem pemerintahan kerajaan yang bersumber dari Bustanussalatin, menjadi panduan bagi Kesultanan-Kesultanan Islam di seluruh Nusantara. Termasuk pakaian adat Melayu seperti peci, songkok atau kopiah, menjadi bagian dari pakaian nasional kita,” kata LaNyalla.
Peradaban Melayu Deli juga menghasilkan ikon-ikon budaya, terutama Istana Maimun dan Masjid Raya Al-Mashun. Kedua bangunan bersejarah ini, kata dia, adalah bukti kebesaran serta keberadaan peradaban Melayu Deli di Sumatera Utara.
“Sungguh luar biasa sumbangsih peradaban Kesultanan Deli. Artinya, peradaban unggul kesultanan yang berdiri sejak tahun 1632 ini tercatat dalam sejarah dunia,” ujarnya.
Sumbangsih dan dukungan konkret kerajaan Nusantara sangat penting dalam proses lahirnya NKRI. Oleh karena itu, LaNyalla menyebut kerajaan dan kesultanan Nusantara adalah salah satu pemegang saham utama negeri ini.
Namun, lanjut dia, sekarang negara hanya menyandarkan kepada partai politik sebagai satu-satunya penentu wajah dan arah perjalanan bangsa. Sedangkan para pendiri bangsa dan para pemilik saham lahirnya bangsa ini, termasuk kerajaan dan kesultanan Nusantara, tidak memiliki ruang untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa.
“Itu terjadi karena konstitusi kita saat ini, yang merupakan konstitusi hasil amandemen di tahun 1999 hingga 2002 silam,” ujarnya.
Padahal sebelum Amandemen, Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli, memberikan ruang kepada utusan daerah dan utusan golongan dengan porsi yang sama dengan anggota DPR yang merupakan representasi partai politik.
Tapi setelah Amandemen, utusan golongan dihapus, dan utusan daerah diubah menjadi DPD RI, tetapi dengan kewenangan yang berbeda dengan utusan daerah.
“DPD RI juga tidak bisa mengusulkan pasangan Capres dan Cawapres dari jalur non-partai politik. Padahal, masyarakat melalui sejumlah survei menghendaki ada calon pemimpin nasional dari unsur non-partai politik,” katanya.
Untuk itu, DPD RI terus menggelorakan bahwa rencana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas sistem tata negara Indonesia, sekaligus sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa ini.
“Harus diingat bangsa ini besar karena ada entitas-entitas civil society di luar partai politik yang berjasa. Mereka harus mendapat saluran yang layak dan pantas untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini,” katanya
LaNyalla yakin resonansi yang terus disuarakan DPD RI terkait posisi kerajaan dan kesultanan Nusantara akan memberi kesadaran, termasuk pemerintah dan bangsa Indonesia.
“Oleh karena itu, saya akan memperjuangkan semua amanat para raja dan Sultan Nusantara dalam Deklarasi Sumedang. Kami akan menemui satu per satu para pihak terkait, khususnya di pemerintahan, untuk merealisasikan amanah tersebut,” jelasnya lagi.
LaNyalla juga mendukung penuh upaya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengembalikan peninggalan sejarah, sekaligus untuk menjaga kelestarian kebudayaan Melayu Deli.
"Sesuai permintaan Sultan Deli XIV Paduka Yang Mulia Tuanku Sultan Mahmud Aria Lamanjiji Perkasa Alam Shah, ketika bertemu dengan Gubernur Sumatera Utara pada 30 Desember 2020 lalu," katanya.
"Kami juga akan mendesak DPR RI agar segera membahas dan mengesahkan RUU tentang adat kerajaan nusantara, sebagai dasar hukum revitalisasi kerajaan dan kesultanan nusantara,” katanya lagi.
Kunjungan LaNyalla ke Kesultanan Deli juga dihadiri Wali Kota Medan Bobby Nasution, Sultan Deli PYM Tuanku Lamantjiji Perkasa Alam, YM Pemangku Sultan Deli Tengku Hamdy, Senator asal Sumatera Utara Dedi Iskandar Batubara, M. Nuh dan Pendeta Willem TP Simarmata.
Selain itu, hadir juga Ketua Umum MAKN YM Dr KPH Eddy Wirabumi dan Sekjen MAKN YM RA Yani WSS Kuswodijoyo.
Baca juga: Ketua DPD terima kunjungan Panglima TNI
Pewarta: Nur Aprilliana Br. Sitorus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021