Penyerahan uang restitusi atau ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku tersebut disaksikan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok Sri Kuncoro dan Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Depok Arief Syafrianto, Depok, Senin.
Berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, pelaku dibebankan membayar restitusi senilai Rp6.524.000 kepada anak korban pertama dan Rp11.520.639 kepada anak korban kedua.
Baca juga: LPSK tekankan rehabilitasi psikologis anak korban penganiayaan
Menurut Antonius, upaya restitusi yang berhasil diperoleh kedua korban didasarkan pada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang mereka derita.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Depok yang dikuatkan Pengadilan Tinggi Bandung, selain dinyatakan terbukti bersalah dan divonis 15 tahun penjara serta denda Rp200 juta subsider tiga bulan penjara, pelaku dibebankan membayar restitusi.
Dari keputusan itu, pelaku sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonannya ditolak.
Antonius menjelaskan pemenuhan hak restitusi tersebut merupakan perjuangan panjang dari korban, kuasa hukumnya, Jaksa Penuntut Umum Kejari Depok, dan LPSK.
Baca juga: LPSK dorong kelanjutan proses hukum penganiayaan advokat di Kalsel
“Mudah-mudahan (keberhasilan) ini menjadi penyemangat penanganan kasus pada masa mendatang,” harapnya.
Sepanjang tahun 2021, lanjut Antonius, LPSK telah melakukan perhitungan restitusi sekitar Rp6 miliar untuk 170 korban.
Dari perhitungan tersebut, katanya, persentase efektivitas penuntutan restitusi bernilai sekitar 70 persen pada triwulan satu dan dua.
Pembayaran restitusi kepada korban dari pelaku, tambahnya, masih relatif rendah, yaitu empat perkara. Perkara itu meliputi kasus kekerasan seksual di Bengkulu dan Depok. Dua perkara lainnya adalah tindak pidana perdagangan orang.
Baca juga: Ketua MPR dukung penguatan kelembagaan LPSK
Antonius menjelaskan perhitungan restitusi yang dilakukan LPSK didasarkan pada tiga komponen dii antaranya komponen ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan ganti biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Hal itu, ujar dia, sesuai dengan mandat UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Menurutnya, keberhasilan dalam memperjuangkan hak korban atas restitusi itu tidak lepas dari sinergi antara korban, kuasa hukum, Kejari Depok, dan LPSK.
Dengan demikian, Antonius berharap sinergi yang sudah terbangun dapat terus dilanjutkan demi menghadirkan keadilan bagi korban.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021