Transformasinya berlangsung, tetapi tidak optimal. Selalu ada masalah, inilah yang kita rasakan
Ombudsman RI menyebutkan terdapat lima potensi maladministrasi yang dapat terjadi dalam tata kelola pupuk bersubsidi yang berdampak pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran sarana produksi pertanian tersebut hingga ke tingkat petani.
“Pertama, penentuan kriteria dan syarat petani penerima pupuk bersubsidi saat ini tak diturunkan dari rujukan undang-undang yang mengatur secara langsung (mengenai) pupuk bersubsidi,” ujar Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika secara virtual, Jakarta, Selasa.
Adapun rujukan yang dimaksud ialah UU Nomor 19 tahun 2003 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, UU No. 22 tahun 2019 tentang sistem budidaya pertanian berkelanjutan, dan UU No. 25 tahun 2009 terkait pelayanan publik.
Potensi kedua ialah pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung pada ketidakakuratan pendataan.
Hal ini dinilai berdampak pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran pupuk bersubsidi.
Selanjutnya, terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi terhadap proses penunjukan distributor dan pengecer resmi.
Kemudian, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dengan prinsip 6T. Yaitu tepat jenis, tepat waktu, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu.
“Kelima, belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi sehingga belum tertangani secara efektif berbagai penyelewengan dan penyaluran pupuk bersubsidi ini,” ungkap Yeka.
Dalam mendiagnosa perbaikan dan tata kelola ini, Ombudsman menilai dari sudut pelayanan publik bahwa petani itu harus dimuliakan, dilayani dengan baik, dan dipermudah segala perkara yang membuat mereka rumit.
Lalu, subsidi seharusnya mudah diawasi dengan penggunaan dan optimalisasi teknologi informasi.
Bagi Ombudsman, penerapan kartu tani T-Pubers (Penebusan Pupuk Bersubsidi) merupakan random act of digital yang akan menghambat proses transformasi digital.
“Transformasinya berlangsung, tetapi tidak optimal. Selalu ada masalah, inilah yang kita rasakan,” katanya
Dengan itu, diperlukan utilitasi teknologi dengan keharusan proses integrasi data yang serba mudah sehingga ke depannya kartu tani harus didorong menjadi kartu tani digital.
Menurut Ombudsman, subsidi juga harus dipertanggungjawabkan sehingga partisipasi publik perlu didorong untuk bersama-sama mengawasi proses penyaluran pupuk tersebut.
“Musyawarah desa sebagai instrumen dalam menetapkan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani) dan perlunya lembaga khusus pengawas pupuk bersubsidi merupakan hal baru yang akan disarankan dalam perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi ini,” ucap Yeka.
Adanya berbagai potensi maladministrasi didasari lima tipologi masalah dan hambatan yang ditemukan Ombudsman dalam tata kelola program pupuk bersubsidi berdasarkan hasil telaah deteksi awal serta penulusuran informasi.
Pertama ialah sasaran petani atau kelompok tani penerima pupuk bersubsidi, lalu terkait akurasi data penerima pupuk bersubsidi, selanjutnya mengenai mekanisme distribusi.
Hambatan yang keempat ialah terkait efektivitas penyaluran dan terakhir tentang mekanisme pengawasan distribusi dan penyaluran pupuk bersubsidi.
Baca juga: Peneliti: Evaluasi program penyediaan pupuk bagi petani
Baca juga: DPR cari formula terbaik terkait program pupuk bersubsidi
Baca juga: Anggota DPR minta BUMDes dilibatkan dalam penyaluran pupuk bersubsidi
Baca juga: Erick Thohir pastikan kios pupuk bersubsidi berperan di ekosistem tani
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021